Perihal Waktu

628 77 43
                                    

"Mau sampai kapan?!”

Aku  menghela napas panjang. Kemudian, memilih untuk memalingkan wajah agar dapat melihat ramainya suasana kota melalui jendela kafe. Hiruk pikuk di jalanan itu lebih menarik untuk aku perhatikan, daripada harus memandang gadis dihadapanku.

“Susah, Nel. Lo ga tau seberapa sakit hatinya gue waktu itu. Gue ngerasa dikhianati, ga dihargai!” sungutnya.

Sekilas, aku melihat dirinya mengusap wajah secara kasar. Geram sekali rasanya pada gadis keras kepala itu.

“Ck, gue tau. Tapi, kejadian itu udah berlalu lima tahun lalu. Memangnya waktu sebegitu lamanya belum cukup?!” kesalku.

Bahasan ini menyebabkan aku hilang selera untuk meneguk coklat panas yang ada di atas meja. Apalagi ketika gadis bernama Dara itu, berkata, “Susah buat orang yang ngga bisa menghargai karya milik orang kayak dia, Nelsa.”

Aku paham itu. Tetapi, ada yang harus Dara pahami juga. Karena sudah tak sanggup membujuknya, jadilah aku membalas dengan sinis, “Iya susah! Susah untuk kamu yang ga mau coba menghargai orang terlebih dahulu. Hargai dulu, jika ingin dihargai pula, Dar.”

Mulutnya terbungkam. Sehingga hanya terdengar ramainya suara pengunjung kafe ini. Waktu terus berjalan cepat. Langit dengan warnanya yang jingga memperingatkan bahwa hari telah petang.

“Aku harap malam ini kamu bisa intropeksi diri dulu.” Aku beranjak berdiri. “Besok siang kita ngobrol lagi.”

Setelah itu, aku berlalu keluar dari kafe. Tempat yang dahulu selalu dikunjungi oleh aku, Dara, dan satu sahabatku lagi. Di mana, aku dan mereka berbagi kisah. Sebelum keadaan berubah. Huft, aku rindu momen kala itu.

Esok harinya, mendadak aku dikejutkan oleh kabar yang sangat buruk. Sebuah kabar menyebabkan diriku gemetaran. Dengan tergesa-gesa aku menghampiri Dara di rumahnya. Ini semua harus berakhir.

“Dar, lo udah maafin Sintya, kan?” ucapku memelas.

Kulihat raut wajah Dara yang masam. “Gue ngga tau, Nel. Semalam gue udah merenung, tapi, tetep sulit. Gue selalu teringat dia waktu mencoba nulis. Dan, akhirnya gue ga bisa lanjutin tulisan gue. Itu artinya, gue belum bisa maafin dia, Nel. Gue ngga tau.”

Tubuhku semakin gemetaran. Bagaimana ini? Dara masih sangat sulit untuk memaafkannya. Hingga tangisku sudah tak terbendung lagi. Aku harus memberi tahu Dara sekarang juga.

“Dar, Sintya udah pergi dari dunia ini. Barusan gue kabarin sama Ibunya. Tolong, maafin dia. Biarin dia tenang di alam sana. Kasihan Sintya, di dunia udah ngerasa lelah sama penyakit leukemia itu,” ujarku terbata-bata karena tangis yang tak tertahan.

Kulihat raut muka Dara berubah sendu. Ia terduduk lemas di depan pintu. Gadis itu ikut menangis hingga histeris. Sepertinya, ia tak menyangka dengan kabar itu.

“Gue harus bagaimana?”

Aku memeluknya. Sama-sama menyalurkan rasa sedih yang teramat.

Aku berbisik, “Cukup maafkan kesalahan dia.”

Namun, tangis Dara malah semakin mengeras. Pelukannya pun mulai mengerat. Aku tahu, Dara menyesal. Tetapi, waktu tak bisa diputar ulang. Waktu tetap berjalan maju tanpa memikirkan orang-orang yang berdiam diri pada masa lalu. Waktu mengajarkan bahwa kita harus tetap bisa menerima walaupun susah. Sebelum yang kau cinta, dibawa pergi oleh waktu.
Dara yang masih syok hanya bisa menuju rumah sakit bersamaku. Menemui sahabat tercinta untuk terakhir kalinya. Sahabat yang pernah menjiplak tulisan karya Dara. Sahabat yang kini membuat Dara menyesal.

“Padahal, gue berharap bisa bertemu dengan Sintya lagi setelah memaafkannya. Tapi, waktu lebih milih buat menampar gue dengan kenyataan ini. Apa gue keterlaluan?"

QqQ

Vote dulu, donggg! Terima kasih.

Follow me Dinni_DAR2

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang