Tentang Ayah

378 66 23
                                    

Malam hari yang terasa sangat dingin ini menggodaku untuk menyeruput secangkir kopi. Seraya ditemani novel juga, aku duduk di sofa dengan tenang tanpa menghiraukan bisingnya televisi yang tengah ditonton oleh Ayah. Namun, mendadak aku ikut tertarik oleh berita viral yang ditayangkan hingga membuat dahiku berkerut. Ku letakkan novelku di atas meja, lalu memfokuskan perhatian pada layar televisi menirukan Ayah yang duduk di depanku.

Tampak seorang lelaki di dalam mobil sangat ceria menceritakan kejutan yang akan ia berikan pada ayahnya. Ia memperlihatkan kue bolu yang terdapat tulisan 'Happy Father Day!'. Setelah sampai di rumah ayahnya, ia segera membawa kue bolu itu. Namun, tak disangka lelaki itu justru disambut derai air mata milik ibunya. Seketika ia pun memberondong pertanyaan pada ibunya yang hanya dibalas dengan isakan. Karena tak sabar, lelaki itu langsung menerobos masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba, lelaki itu menjatuhkan kuenya, lalu mengepalkan tangan. Matanya menajam bersamaan air mata yang mengalir begitu saja.

"AYAH KENAPA?" teriaknya.

"Ayahnya meninggal." Perkataan Ayahku itu mampu membuat aku mengalihkan pandangan sebentar.

Secara kasar, lelaki itu membuka kain putih yang menutupi wajah ayahnya, kemudian menggoyang-goyangkan pundak ayahnya dengan kencang. Isakan memilukan darinya sangat mengiris hati. Sungguh miris. Hari ini adalah hari di mana hari spesial untuk seluruh ayah. Terlebih lagi, ini merupakan pertama kalinya lelaki itu memberanikan diri untuk mengucapkan secara langsung pada ayahnya. Tetapi, Tuhan sudah memanggil sebelum ia sempat mengucapkan. Bahkan, untuk sekedar ucapan pamitan.

Jatungku berdegup kencang. Pelipisku mendadak dibanjiri keringat, padahal cuaca sangat dingin. Kuremas ujung bajuku seraya melirik Ayah sejenak. Huft, untung saja Ayah masih fokus pada televisi yang telah mengganti bahasannya.

Kepalaku menunduk lemas sebab berita barusan seakan menamparku. Malam ini tepat seminggu 'Hari Ayah' telah lalu. Tetapi, aku kembali tak mengucapkan pada Ayah, dan memang belum pernah. Aku bukan ingin mengikuti jejak anak durhaka. Hanya saja, terasa sangat canggung dan kaku untuk membuka mulut dan mengucapkan, "Selamat hari ayah, Yah!" pada ayah. Jika lewat media sosial, ayahku memakai ponsel jaman dulu. Huh, menyebalkan.

"AYAH!"

Aku mendekat pada Ayah yang memenjamkan mata. Tubuhku melemas seketika. Sungguh, aku takut. Tuhan, tolong beri aku waktu sebentar.

0oo0

Terimavkasih buat 600-an kali dibaca.
Besok update lagi, tapi, tekan bintang di pojok kiri dulu, ya!

Happy reading, dear❤

Love,
Dinni_DAR2

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang