Cerita Tak Tuntas

248 58 14
                                    

Versi revisi: http://www.lokerkata.com/2020/03/cerita-tak-tuntas/

Aroma buku yang menguning menyeruak hidungku. Suara gesekan kertas ketika aku membuka lembaran-lembaran buku itu cukup menenangkan. Namun, aku tetap merasa gundah. Akupun menenggelamkan kepala dalam lipatan tanganku di atas meja. Aku merasa dunia ini sangat membosankan. Hidup sudah tak ada artinya. Bahkan, tempat ini –Perpustakaan– mulai tak menyenangkan. Aku tidak bisa menemukan buku cerita yang sesuai dengan selera diriku.

Kepalaku terangkat dengan punggung yang menegak. Mataku menyipit tajam kala melihat sebuah buku tergeletak di hadapanku. Tiba-tiba ada, aneh.  Milik siapa dan darimana? Aku mengamati sekitar. Tetapi, semua penghuni di sini tengah asyik dengan bukunya masing-masing. Jika aku bertanya, pasti percuma. Si kutu buku itu akan cuek. Huh, menyebalkan.

Akhirnya, pelan-pelan tanganku mulai membuka buku tersebut. Sepertinya, ini buku harian. Di bagian depannya terdapat tulisan 'Tragis' dengan spidol merah. Entah kenapa, aku berpikiran spidol merah itu seperti ingin menandakan bahwa itu darah. Lagi-lagi, mataku menyelidik keadaan sekitar. Tetap tidak ada tanda-tanda pemilik buku ini. Ya, sudah. Aku putuskan untuk membaca buku yang cukup menarik ini.

Dunia ini terasa sangat menyenangkan. Di tempat ini, kamu bisa menemukan apa saja. Teman, kekasih, atau keluarga? Sungguh membahagiakan. Namun, semesta menciptakan sebuah kesedihan pula. Hal yang membuat diri menjadi lelah atau terpuruk. Katanya, kedua hal itu tak dapat dipisahkan. Jika ada kebahagiaan, di situ pasti ada kesedihan jua, atau sebaliknya.

"Apaan, nih?" bisikku pada angin.

Kalimat pembukanya sungguh basi. Hidupku selalu dipenuhi berbagai macam hal menyedihkan. Aku tidak setuju dengan kalimat dibuku itu.

Tetapi, tunggu dulu. Aku tidak setuju dengan itu. Tempat aku tinggal ini seperti tak menyukai kehadiranku. Rasa capek atau terpuruk, dan ingin mengakhiri hidup selalu menempel pada pikiranku. Hidupku menyedihkan. Di sini tidak ada yang sudi membagi kebahagiaan padaku, seakan-akan kebahagiaan adalah sesuatu yang haram bagiku.

Sebelah bibirku terangkat. Ternyata, bukunya sangat menarik. Mataku menjadi ketagihan untuk terus menjelajahi isi buku ini. Semakin aku jauh membaca, semakin lebar pula senyuman yang terpatri di bibirku. Aku merasa punya teman, teman yang sesama merasa menyedihkan. Sayang sekali, buku ini seakan tanpa pemilik.

Pada satu halaman, aku mengernyit heran. Ceritanya terpotong.

Pada tengah malam ini, beberapa bagian tubuhku kembali lebam. Sedangkan, hatiku sudah berdarah-darah, sakit. Mamaku, lagi-lagi bermain. Beliau mengacak-acak semua barang yang ada di kamarnya. Rambutnya sudah tak tertata. Bahkan, banyak luka lecet ditangannya. Sungguh, aku tak kuat. Banjir sudah kedua pipiku ini.

"ARGH! JALANG, SIAL," umpatnya.

Setelah tertawa keras, Mama keluar dari kamar. Tertinggal aku yang duduk memojok dengan lutut tertekuk serta suara tangisku yang melengking. Aku hampir tak sanggup untuk menulis dalam buku ini. Tapi, aku harus tetap menulis. Kali saja, ketika aku telah pergi dari dunia ini, ada seseorang yang hidupnya sama menyedihkan denganku, lalu membaca buku ini, dan bisa lebih semangat daripada diriku.

"Ma...ma." Tenggorokanku tercekat.

Kulihat Mama membawa pi

"Sial," desisku.

Ceritanya belum tuntas. Sebelumnya, aku melihat kata 'ketika aku telah pergi dari dunia ini', lalu setelahnya tak ada lanjutan. Seperti pertanda penulis buku ini berfirasat dirinya akan meninggal. Apa memang sudah meninggal? Kalau iya, sangat menyakitkan. Ck, ia berhasil membuat aku penasaran. Bersamaan dengan memikir, aku mengetuk-ngetuk jari di atas meja. Berharap dapat pencerahan.

Eh, mataku menoleh ke arah tangan kananku. Tiba-tiba, ada sebuah pena. Aih, hari ini sangat aneh sekali. Namun, datangnya pulpen ini menimbulkan ide. Aku berniat melanjutkan cerita Tragis ini. Sebelum menulis, aku tersenyum lebar.

Kulihat Mama membawa pisau sangat tajam. Kasihannya Mama. Beliau tertawa nyaring yanh berhasil membuat telingaku sakit. Aku pun berpura-pura ikut tertawa dengan air mata yang mengering.

Mama berjalan maju mendekatiku. Refleks, aku berdiri tegap. Aku harus berjaga-jaga dengan permainan Mama kali ini.

OH, TIDAK!

Beliau menerjang diriku. Keringat dingin membasahi pelipisku. Mataku memelotot kaget. Hufftttt, napas ini terasa berat. Ku menunduk sedikit, betapa tegangnya tubuhku kala melihat bilah pisau hampir mengenai perutku jika tangan kananku tak menahannya.

Ku tatap mata sayu Mama ketika ia berkata, "Ayo, bermain! Atau nyerah saja?"

Aku tersenyum masam. Dengan kecepatan kilat, aku membalikkan arah pisau itu. Tangan kanan yang gemetaran ini perlahan mendorong pisau itu mengarah pada perut Mama.

"Argh!"

Mama tergeletak ke lantai. Jantungku berdegup kencang. Perutku pun terasa ditusuk, menyebabkan aku mual. Sedangkan pisau? Jatuh bersama Mama.

"Ma..af, Ma."

Aku terduduk sangat lemas. Namun, dengan bibir yang tersenyum puas.

"Keren!" sahutku antusias.

Aku tertawa-tawa sendiri tanpa menghiraukan tatapan tajam dari para kutu buku. Akhirnya, 'aku' dalam buku itu berhasil hidup. Aku telah menolongnya dengan menuntaskan isi buku tersebut.

iIi

Hell-o! Eh, Helloooo!
Ada yang mau didedikasikan juga? Wkwkwkwk.

VOTE AND COMMENT, PLEASE. THANKYOU, DEAR!

Love,
DAR

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang