08. Riuh Sunyi di Kamar Rawat

1.4K 97 1
                                        

"Di ruang kecil ini, bisu dan derita berpadu dengan tawa yang mengalir lirih, seperti alunan senandung malam yang menyembuhkan luka tanpa suara, menghadirkan hangat di saat dingin merayap."

.

.

.

Matahari belum sepenuhnya naik ketika suara batuk serak memecah keheningan kamar. Khanza menggeliat pelan di balik selimut, tubuhnya menggigil meski sudah terbungkus tebal. Keringat dingin membasahi pelipisnya, padahal suhu tubuhnya terasa seperti bara. Tenggorokannya kering dan perih.

Ia meraih ponselnya, kemudian mendial nomor Aulia "Bunda..." gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Tak lama, suara langkah tergesa datang dari arah tangga. Pintu terbuka perlahan, dan wajah Bunda muncul dengan raut cemas. Ia segera mendekat, meraba dahi putrinya yang kini basah dan merah.

"Astaghfirullah... panasnya tinggi banget. Khanza, sayang, kamu kenapa enggak bilang dari tadi?" Suaranya lirih.

Khanza hanya menggeleng lemah. Matanya sayu, tubuhnya terasa remuk. Yang keluar hanya batuk-batuk kering.

Azka muncul di ambang pintu, langsung ikut panik melihat putrinya terbaring dengan napas berat. "Kita ke rumah sakit, sekarang juga."

Bunda mengangguk. Dengan susah payah, Khanza mencoba duduk, tapi langsung limbung. Azka segera menopangnya, sementara Bunda menyiapkan air hangat. Di sudut kamar, seragam putihnya tergantung rapi, tak terpakai hari ini.

Mobil melaju tenang membelah pagi yang masih basah oleh embun. Di jok belakang, Khanza bersandar pada bahu Bunda, matanya setengah terpejam, napasnya pendek-pendek. Wajahnya pucat, pipinya sedikit menggembung karena masker, dan tangan kirinya terus menggenggam botol air hangat.

Azka menyetir dengan fokus, tapi matanya sesekali menoleh ke kaca spion, memandangi putrinya dengan tatapan cemas yang tak bisa disembunyikan. Mobil tak menyalakan musik apa pun hanya suara klakson jauh dan penghapus kaca yang ritmis menghalau sisa embun.

Sesampainya di rumah sakit, Aulia langsung turun lebih dulu, membuka pintu belakang dan memapah Khanza perlahan. Petugas keamanan menyambut, segera memanggilkan kursi roda saat melihat langkah Khanza limbung. Ia hanya diam, matanya setengah basah, bukan karena tangis, tapi karena rasa tidak enak di tubuh yang membuatnya rapuh sepenuhnya.

Suasana ramai namun terkendali. Dokter jaga datang memeriksa, lalu menyarankan pemeriksaan laboratorium. "Demamnya tinggi, ada batuk kering, dan badannya lemas. Kita observasi dulu, ya."

Setekah serangkaian pemeriksaan, Khanza di bawa ke kamar rawat. Jarum infus ditusukkan ke tangan kirinya. Khanza hanya meringis pelan. Aulia menggenggam tangannya, duduk di sisi ranjang sambil mengusap kepala anak gadisnya yang tampak lebih kecil dari biasanya.

"Kalau dari awal istirahat, mungkin nggak separah ini," gumam Azka, berdiri di dekat jendela dengan nada menyesal.

Khanza hanya tersenyum samar. "Maaf, Yah. Khanza kira masih kuat..."

Bunda menunduk, mengecup kening Khanza. "Kamu enggak harus kuat terus, Nak. Bahkan matahari pun punya waktunya tenggelam, kan?"

Kata-kata itu membuat Khanza menutup mata. Mungkin benar. Mungkin tubuhnya hanya sedang mengingatkan, bahwa tidak apa-apa menjadi lemah sejenak. Tidak apa-apa dirawat, seperti halnya ia biasa merawat orang lain.

Menjelang sore, ketika langkah para perawat mulai terdengar sayup dan sinar matahari hanya menyusup malu-malu lewat kisi-kisi jendela, suara gaduh kecil muncul dari luar pintu kamar rawat. Pintu diketuk pelan, lalu terbuka perlahan.

FLAMBOYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang