1

1.4K 56 2
                                    

Cibubur, 1 November 2019

Langit terlihat mendung hari ini. Tidak seperti biasanya. Tak lama kemudian, hujan turun membasahi.

Ini adalah hujan pertama, setelah sekian lama.

Seorang teman menghampiriku yang sedang duduk di ruang tunggu. Tiga jam sudah aku menunggunya selesai mengurus wajahnya yang bermasalah dengan seorang dokter profesional ternama daerah sini.

"Yuk, jadi?" tanyanya ketika sudah dekat.

Aku mengangguk dengan lesu. Kuikuti langkahnya yang pergi ke luar ruangan, menghampiri kendaraan roda dua miliknya yang terparkir rapi. Beruntung, motornya tidak basah karena air hujan yang kini telah berhenti.

Selama perjalanan, aku terdiam, memikirkan kalimat apa yang akan kuucapkan nanti saat bertemu dengan orang itu.

"Ayo, turun." Temanku, Elina namanya. Turun dari motor kesayangannya.

Tanpa banyak bicara, aku menuruti perintahnya, melepas helm yang masih terpasang di kepala, kemudian berjalan menuju gerbang rumah orang itu.

"Mau masuk, gak?" tanya Elina sedikit berteriak. Entah sejak kapan, gadis itu sudah berdiri di pintu utama.

Aku menggeleng sebagai jawaban. Kedua mataku menatap layar ponsel seolah sedang membaca sesuatu. Padahal tidak. Karena ponselku telah mati sejak tadi.

Tiba-tiba, orang itu sudah berada di depanku. Ekspresinya terlihat bahagia, wajahnya cerah. Tidak seperti terakhir kali kami bertemu. Refleks, aku merentangkan tangan, ingin memeluknya.

Dengan cepat, ia menepis kedua tanganku. Ekspresinya kini berubah menjadi penuh tanya.

"Selamat," ucapku yang lebih terdengar seperti bisikan.

Tangan kananku terulur, meminta benda yang sedang ia pinjam. Tujuanku ke sini hanya untuk mengambil barang itu. Namun, gerakan tangannya seolah tidak ingin memberikan barang yang ada di genggamannya.

Kakinya melangkah menuju samping rumahnya yang sedang sepi. Aku mengikutinya. Bagaimanapun juga, ia adalah temanku. Teman dekatku.

"Kenapa lo gak bales chat gue?" tanyanya tanpa basa-basi.

Kutatap wajahnya, ada sorot kecewa di kedua matanya. Rasa sesak yang begitu hebat kembali terasa. Tanpa sadar, air mataku terjatuh membasahi pipi.

"Gua ... kecewa. Sakit hati," ucapku pada akhirnya.

Kini, ia ikut meneteskan air mata. "Gue gak mau kehilangan lo. Jangan tinggalin gue."

Kutatap matanya lekat. "Lo ngerasa ninggalin gua, gak? Kalau nggak, gak usah takut. Gua gak akan ninggalin kalau gak ditinggal duluan."

Ia menggeleng. "Waktu gue bilang sayang sama lo, itu beneran.
Aku tersenyum miring, memotong ucapannya. "Terus lo pikir, waktu gue bilang sayang sama lo, itu bercanda?"

Aku tertawa getir. "Tiga tahun, Sa. Tiga tahun gua bantuin lo buat bisa lepas dari cowok itu. Harus berapa kali gua bilang kalau dia bukan cowok baik? Posesifnya dia nyiksa lo."

"Itu pilihan gue," ucapnya dengan yakin.

Aku semakin terasa sesak, suaraku tertahan. Kuhembuskan napasku, sebelum akhirnya bisa kembali berucap, "Lo mau ini, mau itu, gua turutin. Tapi, gua sadar, gua gak bisa jadi kayak dia. Gimanapun juga, lo butuh pasangan di hidup lo. Nikah itu cita-cita lo."

Satu bulan yang lalu, tepatnya di sore hari, Lisa datang ke rumahku secara tiba-tiba. Kedatangannya tidak mengejutkan keluargaku. Kedekatan kami memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, kali ini ia datang dalam keadaan menangis. Saat itu, ia sedang patah hati karena baru saja putus dengan kekasihnya.

Itu adalah putus yang kesekian kali. Sudah tidak aneh lagi bagiku mendengar ceritanya yang itu-itu saja. Permasalahan mereka hanya itu saja. Lisa yang telah dibutakan oleh cinta, begitu mencintai lelaki yang menurutku tidak ada bagusnya.

Laki-laki mana lagi yang senang membuat kekasihnya menangis?

Dan hari ini, tepatnya sebelum Cibubur diguyur hujan, Lisa mengirimiku sebuah pesan.

Gue mau ngomong, sebenernya mau ngomong langsung. Gue balikan sama dia. Lo masih mau jadi temen gue, kan?

Aku terkejut. Kalimat terakhirnya membuatku kembali teringat pada ucapanku sore itu bahwa aku tidak akan lagi peduli jika ia kembali memilih bersama lelaki yang bisa dibilang brengsek itu.

"Gue gak bisa milih antara dia atau lo." Perkataannya berhasil membawaku tersadar dari lamunan.

Aku kembali menatapnya dan tersenyum. "Selamat. Langgeng, ya."

Kami saling berjabat tangan.

"Gue pamit," kataku, lagi. Aku harus segera pulang, sebelum Jatiasih kembali dilanda hujan.

"Jangan cerita apa-apa soal dia lagi," pesanku.

"Gue gak akan cerita lagi."

"Oh, kalau lo nikah sama dia, gua gak akan hadir."

Ada ekspresi tidak terima di wajahnya. Namun, aku lebih memilih menarik Elina yang daritadi hanya menyaksikan, untuk segera pergi.

Dan hari ini, adalah hari pertama aku tidak melambaikan tanganku pada Lisa, hal yang biasa kami lakukan saat akan berpisah.

Hari ini juga menjadi hari pertama aku bersikap tidak peduli pada teman dekat.

*

Tema hari pertama: Hari pertama memulai sesuatu.

Ini ceritanya hari pertama 'aku' mulai cuek ke temennya padahal dia bukan tipe orang yang cuek.

1 November 2019

Imajinasi Secuil Cilok: NPC's 30 Daily Writing ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang