3

538 46 2
                                    

Aku sudah siap dengan penampilan terbaikku. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah, aku memejamkan mata. Membayangkan semua momen indah yang telah kulalui bersamanya.

Musim libur di negara asalku akan segera berakhir. Itu berarti, aku harus kembali. Meninggalkan negara ini, tempat di mana ayahku pernah dibesarkan sebelum akhirnya menikah dan menetap di negara asalku.

Aku menghela napas. Dengan tegas, kakiku melangkah keluar. Udara terasa begitu dingin dari biasanya. Atau mungkin, semua ini terasa akibat rasa gugup yang juga menyelimutiku?

Kurapikan syal yang menutupi leher. Kakiku terus melangkah menuju sebuah rumah yang terletak di ujung jalan rumah Kakek. Aku menggenggam erat kotak kado yang sejak tadi kubawa. Langkahku berhenti tepat di depan rumah yang halaman depannya terlihat berantakan.

"Hei, keluarlah! Aku sudah di sini!" ucapku dengan menggunakan Bahasa Inggris yang fasih.

Tak lama kemudian, pintu rumah di hadapanku terbuka. Terlihat sosok anak laki-laki seusiaku dari dalam sana. Dengan senyum hangat, ia menyambut dan memintaku untuk masuk ke dalam.

Aku tersenyum. Kuberikan kotak kado tadi untuknya sebagai rasa terima kasih karena ia telah mau menjadi temanku di saat aku sedang berlibur ke tempat ini. Wajahku yang tidak terlihat seperti warga lokal membuatku kesusahan untuk bermain dengan teman sebayaku di sini, meskipun hanya untuk membuat boneka salju bersama.

"Ini untukmu, terimalah."

Ia tersenyum. "Apa ini adalah hadiah perpisahan?"

Aku memajukan bibir bawahku kesal. "Kau tidak mau berteman denganku lagi?!"

Kini, ia terkekeh. "Bercanda. Jadi, kau akan segera pulang, ya?"

Ada raut sedih di wajahnya.

Aku mengangguk. "Begitulah."

Sebenarnya, ada perasaan sedih bercampur tidak terima karena harus berpisah dengannya. Meski hanya dua minggu mengenalnya, tetapi aku terus bermain dengannya setiap hari.

"Musim dingin selanjutnya, apa kau akan berkunjung kembali?"

Kepalaku mengangguk dengan antusias. "Tidak perlu menunggu musim dingin. Setiap libur musim lainnya, aku akan berkunjung!"

Ekspresinya terlihat bingung. "Bukankah, kau pernah bilang hanya akan mengunjungi kakekmu pada musim dingin?"

"Itu dulu! Sebelum aku berteman denganmu. Kau tidak perlu sedih, karena libur musim selanjutnya, aku akan datang dan kita akan kembali bermain bersama!"

"Musim dingin adalah satu-satunya musim kita dapat bertemu," ucapnya dengan tatapan serius.

Satu hal yang baru aku sadari. Ada tatapan kosong di matanya. Apakah ia kesepian?

"Kenapa? Apa kau tidak menyukai kehadiranku?" tanyaku dengan tidak terima.

Ia memutus tatapan kami. "Jam berapa pesawatmu akan berangkat?"

"Pukul tujuh malam ini."

"Hari sudah semakin siang, sebaiknya kau pulang. Keluargamu pasti sedang mencarimu. Jangan buat mereka khawatir."

Aku mengangguk. "Baiklah. Aku pasti akan tetap berkunjung pada liburan musim selanjutnya, meski kau tidak mau menemuiku, aku akan tetap datang."

Setelah itu, aku pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan halaman rumahnya, kami saling melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.

Aku berlari kecil menuju rumah Kakek. Pria itu berdiri di pinggir jalan, seperti sedang menunggu seseorang.

"Kakek? Kau sedang apa?" tanyaku masih dengan Bahasa Inggris.

"Kau dari mana? Kami semua mencarimu. Mobil yang akan mengantar ke bandara sudah siap sejak tadi."

Aku tersenyum. Sudah seharusnya keluargaku tahu siapa temanku. "Aku baru saja mengunjungi temanku. Rumahnya tepat di ujung sana."

Tangan kananku menunjuk sebuah arah.

Ekspresi Kakek terlihat terkejut. "Apa maksudmu rumah dengan halaman depan yang tak terawat?"

Aku mengangguk antusias. Senang rasanya ketika Kakek mengetahui rumah temanku lebih dulu sebelum aku beritahu.

"Astaga!"

Suara lantang Kakek membuat semua anggota keluargaku datang mendekat.

"Ada apa?" tanya mereka nyaris bersamaan.

"Rumah itu sudah setahun ditinggalkan. Saat itu sepasang suami istri sedang pergi untuk membeli keperluan mereka. Anak mereka satu-satunya sedang tidur. Saat itulah rumah mereka dirampok. Para perampok itu juga membunuh anak laki-laki itu. Kejadiaannya saat musim dingin."

Aku terkejut. Tubuhku gemetar hebat. "Bercandamu tidak lucu, Kakek."

Salah seorang sepupuku mendekat. Ia mencoba meyakiniku dengan berita di ponselnya. Di layar itu, ada berita yang Kakek maksud tadi. Dan benar, wajah korban itu adalah wajah yang sama seperti temanku.

Seketika, tubuhku terasa lemas. Jadi ... aku berteman dengan hantu selama dua minggu?

*

Tema hari ke tiga: "Musim dingin adalah satu-satunya musim kita dapat bertemu."

3 November 2019

Imajinasi Secuil Cilok: NPC's 30 Daily Writing ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang