Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 2025
Pagi tadi Aji yang baru saja menginjak usia lima beberapa hari lalu, meminta untuk pergi ke Taman Mini. Permintaannya hanya dilandasi oleh teman sekelasnya di taman kanak-kanak ada yang bercerita betapa serunya berkunjung ke sana.
Hari sudah semakin siang ketika Aji baru saja menyadari, apa yang dikatakan temannya adalah bohong. Tidak ada yang seru di sini. Sejak tadi, mobil yang ditumpanginya hanya melewati rumah-rumah yang bentuknya sangat aneh. Berbeda dengan rumah di komplek perumahannya.
"Ini mau ke mana, Dek? Kamu mau liat apa ke sini?" Dari balik kemudi, Gio bertanya. Matanya melirik anak laki-lakinya yang duduk di antara kedua kakak kembarnya melalui kaca spion.
"Tau, nih. Muter doang. Bete." Fiqa, yang duduk di sisi kanan Aji, memajukan bibir bawahnya.
"Kata temen Dedek, Taman Mini itu bagus, Pa. Ayo, kita ke Taman Mini aja. Di sini gak ada tamannya." Aji menunjukkan ekspresi lucunya.
"Ini namanya Taman Mini, Dek. Kamu mau ke mana? Udah mau jam makan siang, loh." Mel tersenyum, mencoba memaklumi sifat polos sang anak.
"Dedek maunya ke Taman Mini, Ma. Bukan ke sini."
Sifat polos Aji kali ini membuat Gio menghentikan kendaraannya secara mendadak. Membuat semua penumpang di dalam mobil terkejut. Ada sorot kekesalan di kedua matanya.
"Pa, pelan-pelan, dong!" tegur Mel.
"Gak apa-apa, kita temenin Dedek jalan-jalan. Dedek masih kecil, Pa. Belum ngerti." Qila, yang sejak tadi hanya diam pun angkat bicara. Tangan kanannya menggenggam tangan sang adik.
Aji memeluk Qila dari samping. Pandangannya beralih pada bangunan tepat di sisi kirinya. "Itu apa?"
Semua orang refleks menoleh.
"Turun aja kalau mau liat." Gio memberi saran.
Qila membuka pintu mobil, mengajak adik kecilnya untuk mendekati sesuatu yang ditunjuk oleh Aji.
"Ini namanya Rumah Panggung."
Anak kecil itu mendongak, menatap sang kakak. "Panggung?" Keningnya mengkerut. "Tempat Kakak main musik?"
"Namanya Rumah Panggung karena ada tangganya. Ini Rumah Adat Betawi. Zaman dulu, waktu Dedek belum lahir, banyak rumah bentuknya kayak gini." Anak perempuan itu menarik lembut lengan Aji, mengajaknya berjalan mendekat.
"Kenapa ada tangganya?"
"Buat ngelindungin rumahnya. Di pinggir pantai, rumahnya juga ada tangga supaya gak kena air waktu airnya lagi naik. Kalau di hutan, biar gak diserah binatang buas."
Kedua mata Aji berbinar. Ia baru tahu ada rumah berbentuk Rumah Panggung. Selama ini, ia hanya tahu rumah memiliki tangga di dalam, bukan di luar seperti apa yang ada di hadapannya saat ini.
"Dedek mau punya rumah panggung."
Langkah kaki Qila terhenti. Kepalanya menoleh, menatap Aji. "Buat apa?"
"Biar Arvin sama Arion gak bisa ke rumah Dedek. Mereka main terus, Dedek bosen."
Qila terkekeh. "Tapi, kalau mereka gak main, Dedek nangis."
Aji pun memajukan bibir bawahnya, sebal.
*
Tema hari ke dua:
Feature article di Wikipedia Bahasa Indonesia (Rumah Panggung).
2 November 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Imajinasi Secuil Cilok: NPC's 30 Daily Writing Challenge
Short StoryPESERTA NUSANTARA PEN CIRCLE'S 30 DAILY WRITING CHALLANGE. Kali ini, saya akan kembali mengikuti tantangan menulis setiap hari dengan tema yang berbeda selama tiga puluh hari. Cover oleh @Alizarinlake