"Makasih, ya," ucapku ketika kami sedang berjalan menuju parkiran mobil.
"Buat apa?" tanyanya dengan gaya khas yang cuek.
"Loh, kamu udah bayarin makan tadi. Lain kali gak usah, mending bayar sendiri-sendiri aja. Bukannya gimana, tapi kamu juga bukan suami aku yang wajib bayarin."
Ia menyunggingkan senyum. "Anggap aja tadi itu ucapan makasih karena kamu udah temenin aku selama ini."
"Loh, namanya juga temen." Aku ikut tersenyum.
Kakinya pun melangkah mendahuluiku.
"Bukannya, cowok itu harus jalan di belakang cewek, ya?" sindirku tepat sasaran.
Kini, ia kembali menghampiriku. "Ayo, cepet. Kita harus pergi ke tempat lain."
Aku mempercepat langkah. Mengikutinya pergi menuju mobilnya yang terparkir. Seperti biasa, ia selalu membukakan pintu untukku.
"Kamu gak apa-apa, kan pergi seharian sama aku?" tanyanya ketika kami sudah selesai memasang sabuk pengaman.
Aku mengangguk. "Udah izin, tenang."
Tiba-tiba saja, teleponnya berdering. Ia mengangkat panggilan itu. Setelah mengucap beberapa kata, ia kembali meletakkan ponselnya.
"Eh, kita ke kosan dulu, ya?"
"Ngapain?!" tanyaku nyaris berteriak.
"Aku dicari orang." Ia menyalakan mesin mobil, dan mulai mengendarainya.
"Kamu ada masalah sama siapa lagi, sih? Gak pengen hidup dengan damai?"
Laki-laki yang ada di sampingku ini memang terkenal pemberani. Tidak pernah merasa takut dengan siapapun ketika dirinya melakukan hal yang benar.
Beberapa waktu lalu, ia baru saja menghajar pria bertubuh besar yang menganggu kenyamanan tempat usahanya. Saat itu, aku bersyukur karena sedang tidak berkunjung. Sungguh, aku tidak pernah bisa melihat orang bertengkar secara fisik.
"Santai aja. Gak akan kenapa-kenapa, kalau kita gak telat."
"Pokoknya jangan tonjok-tonjokan!"
"Nggak," jawabnya. "Paling nendang."
Refleks, aku memukul pundaknya.
"Lagi nyetir, nih. Jangan dipukul, dong." Ia terkekeh.
"Kalau udah ada niat berantem, turunin aku di sini aja. Biar aku pulang sendiri naik Gojek!" ancamku serius.
"Nggak, santai aja. Kalau nurunin kamu di tengah jalan, sama aja aku nyari mati sama kakak-kakak kamu." Lagi, ia kembali terkekeh.
Mobil yang kami naiki berhenti tepat di depan sebuah minimarket. Sebelum turun, ia berpesan agar aku tidak pergi ke mana-mana.
Tak lama, ia kembali dengan dua cokelat di tangannya. "Makan. Biar gak badmood."
"Cuma beli cokelat aja?" tanyaku penasaran.
"Sekalian ambil uang."
Aku diam. Masih merasa kesal dengan sikapnya. Jantungku tak berhenti berdetak cepat, takut jika ia benar-benar akan berkelahi.
Tanpa sadar, aku menggenggam lengannya. Erat.
"Jangan berantem, ya?" Kutatap matanya dengan penuh permohonan.
Kedua matanya melirik tanganku, kemudian wajahku. Ada senyuman tipis di wajahnya. "Iya."
Aku bernapas lega. Aku mempercayai ucapannya.
Mobil inipun terparkir di halaman samping kos. Ada kendaraan miliki marketplace online yang juga terparkir di sana.
"Maaf, Mas. Lama." Ia menghampiri seorang kurir. "Berapa tagihannya?"
"Jadi satu juta seratus."
Setelah menerima uang, kurir itu pergi.
"Beli apa?"
"Hape. Khusus main game."
Tiba-tiba, ada kurir paket ekpedisi lain yang datang. Lagi, orang itu pergi setelah menerima uang.
"Kamu beli apa lagi, sih?"
"Gak tau. Lupa. Kalau mau, buka aja."
Aku masuk ke dalam, mencari alat untuk membuka semua paket miliknya. Ternyata, sejak pagi tadi, sudah banyak barang miliknya yang datang. Hobi berbelanja online-nya memang sering kali membuatku menepuk jidat.
"Maksud aku ditunggu orang, aku lupa kalau kemarin belanja banyak, terus semuanya gak sengaja kepencet cash on delivery."
Aku menatapnya kesal, kutunjukkan kaos berwarna hitam yang baru ia beli. "Boros banget. Kamu masih punya kaos polos kayak gini enam."
Tanganku kembali mengambil kotak jam. "Jam kamu masih ada tiga, masih bisa dipake semua."
Ia hanya terkekeh. "Ini semua, tuh promo. Hape yang aku beli aja harga aslinya gak segitu."
"Tapi, kamu masih punya dua lagi hape khusus main game." Aku berdecak. Jiwa hematku memberontak.
"Terus, kenapa pake alamat kos kamu? Kenapa gak pake alamat rumah?" tanyaku masih dengan nada kesal.
"Gak sengaja. Kemarin ibu aku baru belanja buat kos, lupa diganti alamatnya." Ia membereskan barang-barang yang baru datang. "Udah, dong. Jangan marah-marah terus. Ini juga pake duit aku, bukan duit ibu."
"Aduh, gak ada yang menjamin tahun depan kamu masih bisa foya-foya kayak gini. Mending uangnya kamu tabung, kamu kasih ke yang lebih membutuhkan."
Kini, ia menatapku dengan senyum tipis di bibirnya.
"Kenapa senyum-senyum?! Kamu dengerin gak, sih?!"
"Kalau lagi kayak gini, kamu manisnya nambah." Lagi, ia terkekeh.
*
Tema hari ke dua belas: Buka Kbbi.web.id kata pertama yang menjadi populer pencarian hari ini, menjadi TEMA.
Cabar: kurang (tidak) hemat; boros: orang yang -- tidak akan kaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imajinasi Secuil Cilok: NPC's 30 Daily Writing Challenge
Short StoryPESERTA NUSANTARA PEN CIRCLE'S 30 DAILY WRITING CHALLANGE. Kali ini, saya akan kembali mengikuti tantangan menulis setiap hari dengan tema yang berbeda selama tiga puluh hari. Cover oleh @Alizarinlake