Entah mengapa suara itu sangat menggangguku. Ingin rasanya aku enyahkan, namun aku malas membuka mataku. Lebih enak seperti ini! Aduuhh kenapa bertambah suaranya sich ? Berisik tau! Satu suara saja sudah mengganggu apalagi ditambah lagi. Mengganggu kenyamanan saja.
Tangan siapa ini ya? Halus dan hangat banget! Kayak tidak asing bagiku. Tapi tangan siapa? Ini gerimis ya? Tapi kok hangat? Jadi penasaran!
Cahaya menyilaukan menerpa, sepertinya aku belum siap. Tapi mengapa cahaya itu semakin menyilaukan saja. Saat pandanganku mulai sempurna melihat, terlintas dalam benakku wajah seram laki-laki yang menyeretku. Langsung saja kututup kembali mataku.
"Yah.. yah.. lihat Dini sudah siuman!" Saat kudengar suara lembut itu, kubuka perlahan-lahan mataku. Senyum yang tak asing itu terkembang. Namun mengapa ada bulir-bulir air yang jatuh menetes.
Belum sempat aku berucap, perempuan yang sangat aku kenal itu berkata, "Maafkan ibu sayang karena tidak bisa menjagamu dengan baik."
Ibu menciumiku berkali-kali, sementara ayah hanya memandangiku dengan iba, baru kali ini aku melihat ayah meneteskan airmatanya. Selama ini ayah terkenal sangat tegas, namun entah mengapa saat aku meminta sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Pinrang. Ayah tak mau menolak dengan tegas, justeru ibu yang menolak.
"Apakah ayah marah pada Andini?" Tanyaku sembari menatap ayah.
Ayah terpaku tak menjawab sama sekali.
"Sudah jangan banyak bicara dulu," sahut ibu.
"Sepertinya ayah marah padaku bu!"
Ayah langsung tersadar dan mengusap air matanya, lantas melangkah mendekatiku dan berucap, "Lihat, anak cantik ibu jadi babak belur begini..!"
"Seandainya anak ayah tidak mungkin sampai babak belur begini, secara gitu dia jago silat," kata ayah berusaha mencandaiku. Tapi justeru kata-kata ayah menyadarkanku bahwa kesombonganku tempo hari membuatku menjadi seperti ini.
"......Rugi belajar pencak silat, kalau tidak bisa jaga diri." Kalimat itu yang tiba tiba muncul dibenakku setelah aku mendengar kata-kata dari ayah. Membuat tangisku tiba-tiba pecah.
Mendengar tangisku pecah tanpa kontrol ayah meninjukan tinjunnya di tembok, "Harus kucari sampai dapat para bajingan yang membuat permataku rusak..!"
Ibu langsung menghampiri ayah, "Yah sadar, kita di rumah sakit. Jangan jadikan amarah sebagai pemimpin."
Terdengar suara ketokan pintu tiga kali lalu salam, "Assalamu Alaikum...!"
Ibu langsung mengusap air matanya dan bergegas membuka pintu. Ternyata yang muncul adalah Dewi, Arika dan Tantri. Setelah mereka bertiga masuk dan mencium tangan ayah dan ibu, suasana menjadi rikuh dan hening.
"Upss sepertinya kita masuk diwaktu dan tempat yang tak tepat," celetuk Tantri tiba-tiba. Arika langsung menyikut lengan Tantri.
Demi mencairkan suasana, Arika langsung menghampiriku seraya berujar, "Om.. tante... Andini sudah siuman ya?"
"Iya nich..! Putri tidur sudah bangun," sahut Tantri mengikuti Arika dari belakang.
"Hai putri Kahyangan, bagaimana keadaanmu sekarang?" Sapa Dewi hangat kepadaku.
Seperti biasa ketika Dewi memanggilku dengan sebutan putri Kahyangan, langsung kupasang wajah jelekku. Putri Kahyangan adalah panggilan Frendy Felix kepadaku. Makanya Dewi, Tantri, dan Arika kalau kesal kepadaku selalu memanggilku dengan panggilan "Putri Kahyangan" dan seketika itupun aku langsung memasang wajah jelek.
"Aduuh duuuh... sakit tahu!" Entah mengapa Dewi selalu saja tertarik mencubit hidungku kecilku.
"Maafkan aku ya! Aku sangat menyesal meninggalkanmu tempo hari," ucap Dewi. "Andaikan saja aku tahu akan terjadi seperti ini, tidak akan pernah kutinggalkan dirimu!"
"Maafkan kami juga ya, karna tidak bisa melindungi teman berharga kami," ucap Arika dan Tantri secara bersamaan.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan atau meminta maaf, semuanya murni kesalahanku," ucapku sembari memeluk mereka bertiga.
"Oh ya ngomong-ngomong, kamu terus dicariin si Frendy!" Kata Tranti mencoba menggodaku.
"Ciye.. ciye.. ciye..!" Mereka bertiga menyorakiku. Ayah dan ibu tersenyum geli melihat kami.
***
Cahaya menyilaukan dan suara deruman motor membuat mataku terbuka, walaupun tak sepenuhnya terbuka. Sesosok laki-laki turun dari atas motor, badannya tinggi dan tegap memakai jaket berwarna putih. Wajahnya tidak terlalu terlihat karena gelap malam yang menyelimuti. Badanku terasa dingin menggigil, luka-luka sudah tak terasa lagi. Apakah ini ambang sakaratul mautku?
Terjadi percakapan diantara mereka, namun tak terlalu kentara. Sampai pada akhirnya laki-laki yang menyeretku melepaskanku dan menyerangnya.
Tiga lawan satu sepertinya tak seimbang. Namun yang terjadi benturan-benturan berimbangan.
Pukulan dan tangkisan mampu dilakukan walaupun ia dikeroyok tiga orang. Tapi sehebat-hebatnya seseorang, jika harus di keroyok pasti akan kalah juga.
Beberapa kali ketiga laki-laki itu menyerang dengan amarah. Hingga membuatnya muntah darah. "Sepertinya aku harus mulai serius," kata laki-laki itu kepada ketiga orang lainnya.
"Terlalu sombong kau anak muda, sepertinya kau mau cepat mati..!" Kata laki laki yang paling besar sembari mengeluarkan parang panjangnya.
"Kau pikir aku takut," jawabnya.
Mendengar hal tersebut, kedua temannya mengeluarkan badik dari balik bajunya.
Dengan membabi buta ketiga laki laki tersebut mengayunkan senjatanya. Berulang kali, sabetan senjata tajam merobek jaket putih laki-laki itu. Mengeluarkan darah segar.
"Kalau kau mau hidup, lebih baik kau kabur saja dari sini," kata salah seorang laki laki yang membawa senjata tajam.
Laki-laki yang menyeretku memukulkan ujung pegangan parangnya kepada temannya, "Bodoh... harusnya dia mati, bukan dibiarkan kabur."
Susuatu mengucur deras dari kepala laki laki yang dipukul dengan ujung pegangan parang, "Maaf bos... maaf bos..!!"
Saat mereka lengah, dengan secepat kilat laki-laki berjaket putih itu melumpuhkan satu demi satu ketiga laki-laki tersebut. Karena merasa tidak beruntung, mereka bertiga lari tunggang langgang.
Laki-laki berjaket putih itu langsung menghampiri dan memeriksa keadaanku. Sepertinya ia menyadari bahwa keadaanku kritis. Ia langsung membopongku, sayup-sayup mata ini tak sanggup terbuka. Wajahnya yang putih bersih, terlihat samar dimataku. Bulir-bulir airmata ini tak terbendung. Teriakannya yang lembuh seperti meninakbobokanku.
"Hey... hey... Sadarlah...!"
"Sadarlah...!"
"Sadarlah...!"
"Kau pasti kuat..!"
Perlahan-lahan bayangan wajah laki-laki itu hilang tak berbekas, bersama dengan ingatanku.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Salahkah Aku Mencintaimu (Guruku)
Teen FictionPenampakan sesosok laki laki tinggi, kurus, sederhana tapi menawan membuat Andini salah tingkah. Pertemuan itu membuatnya berpikir keras untuk menghilangkan bayangan laki-laki itu....!