Bagian XI Puisi Cinta Yang Membuat Aku Gila

12 2 0
                                    

Seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya. Aku, Putri, dek Icha, Kamal, Ichal, kak Firman, pak Sifada, serta pak Agung (guru Seni) akan latihan sore bersama di ruang OSIM. Semua alat-alat seperti gitar, bass, kajon serta seruling diangkat semua ke ruangan tersebut, karena dari semua ruang kegiatan siswa, ruang OSIM lah yang paling besar.

Selain kami berdelapan, bu Caca Federika pun juga ikut andil dalam latihan kami. Beliau adalah guru Bahasa Indonesia yang terkenal sebagai ratu puisinya Pinrang karena banyak prestasi yang telah ditorehkan, baik tingkat nasional maupun internasional.

Setelah kami berkumpul semua, hal yang pertama kami bahas adalah tema dan judul puisi yang akan dibawakan.

"Apakah ada tema tertentu yang harus dibawakan dalam lomba ini?" Tanya bu Caca.

"Setelah membaca juknis, tema tidak ditentukan oleh panitia. Jadi kita bebas memilih puisi apa saja tanpa harus terikat dengan tema," Kata pak Agung.

"Kalau saya bisa usul, saya mempunyai beberapa daftar puisi," Pak Sifada membagikan kertas yang di dalamnya sudah terdapat daftar puisi.

Kami melihat dengan seksama daftar puisi yang diajukan oleh pak Sifada. Daftar puisinya sangat lengkap, mulai dari puisinya khairil Anwar sampai puisinya Gus Mus ada.

"Pak, bu aku boleh mengajukan satu judul puisi?" Tanya putri tiba-tiba.

"Boleh silakan," Jawab bu Caca.

"Bagaimana kalau puisinya Wiji Tukul, yang Sajak Suara judulnya," kata Putri berusaha menyakinkan kami.

Kami berpikir sejenak mempertimbangkan, apakah layak puisi itu kami bawakan. Apalagi status kami sebagai siswa bukan mahasiswa. Lama kami berpikir, lantas pak Sifada bertanya untuk menyakinkan, "Kamu yakin? Puisi ini berat loh untuk anak-anak seusia kalian,"

"Iya, anak-anak sekolah seharusnya membawakan puisi yang ringan. Seperti 'Temperamen' karya W.S Rendra, 'Tapi' karya Sutardji Calzoum Bahri, 'Sendiri' karya Chairil Anwar atau 'Aku Ingin' karya Supardi Djoko Damono," Bu Caca memberikan penjelasan. Sepertinya beliau sepemikiran dengan pak Agung.

Tanpa tadeng aling-aling, aku menyahut, "Kami butuh tantangan bu, pak. Iya kan teman-teman!"

Serentak teman-teman mengiyakan, kulihat pak Sifada tersenyum lembut bak kelopak bunga yang sedang mekar. Ingin rasanya kupetik bunga itu, tapi sayang tangan tak sampai. Waduh pikiranku sudah melayang kemana-mana.

Usai senyuman itu, Pak Sifada berujar, "Mohon maaf sebelumnya pak Agung dan ibu Caca. Untuk pertama kalinya, saya setuju dengan mereka. Anak-anak memang butuh tantangan, karena ke depannya tantangan yang mereka hadapi itu lebih berat daripada yang kita hadapi sekarang. Jadi kalau tidak dibiasakan dengan tantangan-tantangan, mereka akan jatuh sebelum berkembang."

"Setuju...! Bagaimana guys?" Sahut Ichal.

"Iya, kami butuh tantangan," Kamal berseru.

"Ok, kalau itu mau kalian. Jadi sepakat ya, untuk Puisi kita pakai puisinya Wiji Tukul dengan judul 'Sajak Suara'." Kata bu Caca. "Bagaimana pak Agung?"

Pak Agung mengangguk tanda setuju. Setelah diskusi mengenai judul puisi, bu Caca menjelaskan makna di balik puisinya Wiji Tukul kepadaku, Putri, dan adek Icha. karena apala arti membaca puisi namun tak paham makna dan sejarah dari puisi tersebut. Sementara itu, pak Agung dan Pak Sifada sibuk dengan Kamal, Ichal, kak Firman merangkai instrument yang akan dipakai nantinya.

***

Usai Latihan pagi ini, perut terasa sangat lapar apalagi sudah waktunya makan siang. Dewi, Arika, dan Tantri apakah sudah selesai bimbingannya ya? Apa aku samperin saja di kelasnya? tanyaku dalam hati sembari berjalan di lorong-lorong kelas. Dewi, Arika, dan Tantri tergabung dalam lomba cerdas cermat Fisika yang dibimbing oleh ibu Malasari, dan nantinya bersama-sama tim kami ke Makassar untuk lomba. Belum sampai di depan kelasnya mereka, aku berhenti sejenak karena penasaran dengan kerumunan siswa yang berada tepat di depan madding sekolah.

"Ada apa sich ini?" tanyaku kepada adek kelas. Sejenak semua mata memandang ke arahku dengan senyum malu-malu, ada apa ini sebenarnya. Bukan ada jawaban, malah tatapan dan senyuman yang aku dapatkan.

Kucoba masuk diantara kerumunan, kupicingkan mata ini. Ternyata ada beberapa puisi cinta untuk pak Sifada dari penggemar beratnya dengan nama penulis "Bunga Sedap Malam". Kemudian di sebelahnya juga puisi cinta dengan penulis "Putri Misteri", "Pengagum Rahasia" dan "Rintik Hujan."

Selain puisi di atas, ada beberapa potongan tulisan yang memuat kabar kegilaan Frendy Frenzy dengan Judul "Perjuangan Frendy dalam Mengejar Pujaan Hatinya". Aduh ini tulisan siapa sich? Memang sich, tidak ada nama lain selain nama Frendy. Tapi aku tahu pasti arah dan tujuannya kepadaku.

"Kak coba lihat, so sweet banget puisinya kak," teriak histeris siswi disampingku. Ya Allah selain ada tulisan tentang Frendy, ternyata masih yang ada puisi lain yang membuat mereka menatapku dengan senyuman seperti itu, membuatku jadi salah tingkah.

Andini-ku

Karya: Frendy Frenzy

Mutiara yang cantik akan selalu tersembunyi

Bukan untuk khalayak ramai

Wanita cantik itu tersebar dimana-mana

Tapi Wanita sholehah bersembunyi dibalik tirai taqwa

Ya Wanita sholehah yang menjadi perbincanganku dengan Tuhan

Adalah engkau Andini... iya engkaulah Andiniku

....

Ketika kubaca beberapa baris, perutku terasa mulai mual, kepala puyeng. Bukan karena puisinya tidak bagus, tapi sepertinya aku alergi saja dengan semua yang berbau Frendy. Aku berjalan tertatih memegangi tembok sekolah.

"Kakak tidak apa-apa?" tanya salah satu siswi.

"Tidak apa-apa kok?" sahutku tak bersemangat.

Tanpa sepengetahuanku, Erna dan Erni memegangi tubuhku yang lunglai.

"Kami antar ke UKM ya kak," Pinta Erni lembut. Aku hanya bisa mengangguk pasrah karena tubuh ini sudah tidak kuat untuk mengangkat beban yang ada di pundakku. []

Salahkah Aku Mencintaimu (Guruku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang