Bagian VIII Pertolongan Datang

44 8 0
                                    

Rasanya berat harus melepaskan orang yang kita cintai, bukan karna tak rela. Tapi memang harus, karena ini adalah tugas negara. Semenjak Ayah memutuskan untuk menjadi anggota TNI, sumpah setia pada negara Republik Indonesia sudah ditanamkan dalam hati. "mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan adalah hal utama yang harus dimiliki oleh setiap insan yang mengaku mempunyai jiwa nasionalisme," kata ayah sebelum berangkat.

Ayah secara mencium kening dan memeluk kami secara bergantian. Ada cairan putih bening yang mengalir dari pelupuk mata ibu, namun sebelum cairan itu mengalir lebih jauh. Ayah dengan sangat lembut mengusapnya sembari berkata, "Rasanya baru kemarin aku usap airmatamu kala kau menangis terseduh di hari pernikahan kita sayang. sekarang airmata itu jatuh dan sudah menjadi tugasku untuk menghapusnya."

"Aku sungguh mencintaimu dan sangat takut kehilanganmu," kata ibu memalingkan wajahnya dari ayah. "Dan aku paling takut dengan perpisahan!"

Ayah mengusap jilbab hitam ibu lantas berkata, "Pertemuan dan perpisahan itu sudah sunnatullah, yakinlah bahwa Allah punya rencana yang terbaik untuk kita."

Loh kok situasinya menjadi seperti ini sich. Ini mah seperti drakor (drama korea). Aku berdeham berkali-kali tapi diacuhkan, mereka tetap berdrama-dramaan ala anak muda. Sampai pada akhirnya pengumuman keberangkatan pesawat membubarkan semuanya.

"Sebelum berangkat cium pipi ayah dulu?" Pinta ibu padaku. Tak sabar ayah menawarkan pipi kanannya.

Aku berkacak pinggang seraya bertanya, "haruskah aku melakukannya? Aku daritadi kan hanya sebagai pelengkap dan obat nyamuk!"

"Oh ternyata si Putri Kahyangan Merajuk yah," Ibu mencubit hidungku.

Tak mau ketinggalan, Ayah menambahi mencubit pipi kanan kiriku. "Duh jadi merah semua. Ini muka atau balon-balon. " Kataku sembari mencium pipi ayah dengan terpaksa.

Ayah memeluk kami berdua dengan erat dan berbisik, "Ayah akan segera pulang membawa cinta, dan jangan ada cinta lain selain cintaku di rumah. "

"Siap komandan, " Serentak kami menjawab.

Lambaian tangan kami mengantar kepergian ayah. Mungkin kerinduan ini akan mengakar sampai menghujam ke langit.

***

Laju mobil yang tenang dan santai membuat mataku perlahan-lahan menutup. Lamat-lamat bayangan yang masuk ke lensa mata menghilang dan kesadaran ku lenyap, sampai pada akhirnya benturan keras mengguncang tubuh ku. Membuatku tersentak dan terbangun.

Setengah sadar kukucek-kucek mataku, ternyata hari sudah mulai gelap. Kutengok kesamping kepala ibu berdarah dan dalam posisi terkejut karena melihat sesuatu.

"Ibu tidak apa-apa?" Tanyaku, namun tak bergeming dan masih dalam kondisi terkejut. "Ya Allah darah yang keluar dari kepala ibu semakin deras!"

Dengan sigap aku mengambil kotak P3K yang tersimpan rapi di bawah kursiku. Belum sempat ku rawat wajah ibu yang dipenuhi darah beberapa bayangan mendekat. Dengan waktu singkat, bayangan itu menghantam kaca mobil, sehingga membuat kami terkejut dan berteriak.

Kaca depan mobil retak, satu bayangan lagi mencoba untuk membuka paksa pintu depan mobil dekat kursi ku. Namun usahanya tak kunjung membuahkan hasil. Suasana semakin mencekam kalau hujan turun. Satu bayangan lagi naik di atas mobil, lalu memukul pukul kan benda tumpul atap mobil.

"Bu..!"

"Bu bagaimana ini?"

"Bu...!" Aku menggoyang goyang kan tubuhnya.

"Heeemmm...!!" Ibu hanya mengguman.

"Bu Jalankan mobilnya," Teriakku seperti setengah tercekik suaraku. "Kumohon bu, Jalankan mobilnya sebelum mereka menyeret kita keluar dari mobil! "

Salahkah Aku Mencintaimu (Guruku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang