Part 3

1K 44 0
                                    

"Tv itu taruh di sudut sana, vas bunga di sebelah sini." Aku dan Arga tengah sibuk menata-nata ruangan. Arga yang menggeser-geser, aku yang menata spotnya. Seharusnya sih begitu. Tapi...

"Jangan. Ini tidak bagus. Tv seharusnya di sebelah sana." Ia menunjuk sisi lain dinding, dekat dengan pintu yang mengarah ke ruang makan dan dapur.

"Tidak. Itu tidak bagus, Arga. Tidak enak sekali dipandang. Masa kita harus menonton tv dan pandangan kita searah dengan dapur? Tidak normal."

"Tapi kalau disitu jadinya sempit, susah kalau mau lewat. Itu lebih tidak normal lagi. Aku tidak setuju."

Aku berpikir sejenak. Benar juga. Meskipun buatku sih tak masalah. Toh kami hanya berdua. Tidak akan banyak orang yang lalu lalang lewat dan mengganggu siapapun yang tengah menonton tv.

Rumah yang kami sewa ini memang tak terlalu besar. Dengan 2 kamar tidur, ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dapur, kamar mandi dan tempat mencuci baju. Meskipun tak terlalu besar, rumah ini bersih sekali. Dengan langit-langit yang tinggi, membuat sirkulasi udara bebas keluar masuk. Garasinya pun muat untuk 2 buah mobil kecil, mobilku dan mobil Arga.

Kami sepakat ini rumah yang manis.

"Ya sudah, sebelah sana saja." Aku menunjuk  sisi lain lagi. Meskipun tidak leluasa karena raknya yang panjang akan sedikit menghalangi jalan menuju pintu kamar depan. "Dan sofa di tempat yang kamu tunjuk tadi, jadi bisa menempel dekat jendela."

"Tidak. Disitu tempat yang lebih pas." Ia menunjuk spot pilihannya sedari awal, dekat pintu menuju dapur. Aku mendesah bingung. Orang ini keras kepala sekali rupanya.

"Kita suit, oke?"

"Oke."

Dan kami pun melakukan suit ala Jepang, gunting batu kertas!

"Haha. Aku menang. Tv itu akan ditaruh disini saja," kataku menunjuk spot pertama yang aku ajukan. Arga menggeser rak tv tersebut dengan wajah cemberut, dan dengan sembunyi-sembunyi menendangnya.

"Hey, kamu pikir aku tidak lihat? Kalau itu sampai rusak awas saja," ancamku. "Kekanak-kanakan sekali."

"Lihat saja. Berapa lama kau akan tahan dengan posisi itu. Pada akhirnya kau akan tahu kalau aku yang benar."

"Terserah apa katamu. Aku mau istirahat dulu, gerah sekali, capek aku." Kataku sambil berlalu ke ruang tidurku.

"Hah, aku yang bekerja seharusnya aku yang capek. Benar-benar istri teladan," cibirnya. Aku memeletkan lidahku padanya. Lalu langsung menutup pintu, membuka baju dan celana, hanya menyisakan pakaian dalam yang berwarna senada, hitam berenda. Aku merebahkan diriku di sofa, tepat dibawah AC yang disetel 16° Celcius. Ah, dinginnya.... Nikmat sekali. Aku jadi mengantuk.

Tiba-tiba aku mendengar pintu terbuka.

"Hey, Sop! Ini bagaimana cara membukanya? Tadi kamu yang mengutak-atik ini." Arga menyodorkan sebuah benda panjang, alat untuk mengganti lampu.

"Ini kan mudah. Tinggal kamu tekan bagian ini, lalu tarik." Aku memeragakan cara membuka dan memanjangkan alat tersebut. Ia mengangguk-angguk paham.
"Belajarlah menjadi laki-laki, alat-alat seperti itu seharusnya kau yang lebih paham."

"Apa kamu bilang? Aku laki-laki tulen! Masa karena aku tidak bisa membuka ini lantas kamu menganggapku bukan laki-laki?" Sahutnya sewot.

"Buktikan kalau begitu," sahutku seraya menutupi mulut yang menguap akibat rasa kantuk yang tertahan. Seorang laki-laki tidak akan menyukai sesama laki-laki, tahu. Pikirku. Tapi aku sedang mengantuk, malas berdebat. Kalau aku melontarkan kalimat seperti itu, ia pasti akan meradang karena aku terus mencampuri urusannya.

She or He? (Telah dinovelkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang