Bagian 3

767 70 23
                                    

↻ganti background jadi hitam ya

❝ Dosa, mengapa setiap inci sukma dan ragamu membuatku berdosa segini besarnya? ❞

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dosa, mengapa setiap
inci sukma dan ragamu
membuatku berdosa
segini besarnya?

- O3 -

_________________________________

Dosanya adalah mencintai sesama.

Terlebih dia adalah kakaknya.

Esah mengguyur tubuhnya dengan air, aliran turun hingga mata kaki. Shower mengguyurnya seperti hujan diluar sana, nafasnya beradu dengan suara guyuran. Aliran air membawa pergi lelahnya, kendati begitu masih menyisakan rasa kalut dalam dada. Hujan diluar sana tak kunjung henti mengguyur. Tanaman pasti tengah berpesta mendapat banyak sumber, bumi sedang lega karena bisa melepas penat.

Bagi sebagian orang, hujan adalah momen indah. Kejadian itu diselingi dengan rasa syukur didaerah penghasil pangan, hingga di kota-kota besar hujan pun dianggap begitu aesthetic. Aroma petrikor berpadu dengan sejuknya udara, menampah perasaan rileks. Itu hanya untuk beberapa orang yang mengerti filosofi turun hujan atau memaknai sesuatu berdasarkan pemahamannya sendiri.

Bagi Eunsang, hujan itu menganggu.

Alasanya adalah ia tak bisa dengan bebas mengijak tanah, takut sepatunya kotor dan rusak. Hujan menahan segala imajinasi liarnya bergumul, karena suara rintikan yang mengusik seorang pecinta sunyi sepertinya. Kendatipun begitu, Eunsang memilih untuk menerima hujan sebagai rutinitasnya, datang ya sudah, tidak datang ya sudah.

Eunsang mematikan keran shower dan meraih handuk yang tergantung dipojok ruangan. Sudah cukup dirinya berdiam dalam bilik mandi. Tubuhnya sudah dingin, mungkin pula emosinya akan begitu. Ketika ia berbalik, terlihat sebuah kaca menampilkan dirinya menoleh dengan punggung yang masih basah. Rambut hitamnya lusut karena air.

Seburuk itulah dirinya.

"Bagaimana dia berlaku begitu saat habis menciumku?" tanya Eunsang pada pantulan dirinya, diusapnya bibir ranum sendiri, secercah penyesalan sekaligus rasa yang kembali tak mampu ia deskripsikan muncul.

Apakah ini benar-benar boleh? Jika dia terus menyimpan rasa-rasa bodoh ini. Sekalipun Tuhan pun telah melarangnya. Jika memang harus, mampukah dia membuang perasaan?

— ✦ D e s a h ✦ —

Meja makan selalu canggung semenjak kejadian itu, makanan hangat terlihat tak tersentuh dipiring masing-masing insan disana. Dongpyo berkali-kali mencuri pandang paras adiknya, namun tidak menemukan apapun yang mampu membuat suatu obrolan. Sedangkan dalam situasi itu Eunsang tak menatap manapun selain makanannya yang tak menggairahkan.

Desah || EunpyoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang