Shock

299 54 9
                                    

"Aku... Kembali?" Aku berada di rumah sakit di mana tempat aku sedang terbaring lemah. Namun, aku terbangun di sofa panjang bukan di atas kasur seperti saat aku pertama tiba kesini. Ya, aku terbangun di kamar rumah sakitku. Saat itu, hanya ada Ayah, Ibu, Yuna, dan beberapa keluarga dekat yang sedang datang membesuk. 

Pantulanku tak nampak di cermin. Jiwaku tampaknya tertarik menuju ke sini. Apakah dia ingin aku mengetahui kondisiku saat ini? Melihat badanku yang benar-benar seperti mayat, aku hanya ingin dia segera pergi saja. Iya. Badanku akan meninggal, namun tidak dengan nyawaku. Melainkan kembaranku lah yang akan menggantikanku meninggal. 

Aku tidak kuat melihatnya. Aku sudah tidak ingin mengetahuinya. Aku hanya ingin ini cepat berakhir. Namun, bagaimana caranya aku tau kalau aku sudah tiada? Dan juga, apa aku bisa kembali bermimpi seperti semula? Ini seperti mimpi buruk. Melihat diri sendiri tidak sadarkan diri. Bermimpi tentang ketakutan terbesarmu. Sangat mengerikan.

Lagipula, tidak apa aku tidak akan pernah bisa kembali. Setidaknya aku sudah terbiasa dengan dunia ini. Aku mendapat apa yang tidak kudapat di dunia ku, dan ini rasanya menyenangkan. 

"Pak, bu, boleh keluar sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan" Seorang dokter masuk dan memanggil ibu dan ayah. Wajah dokter itu nampak murung dan mencoba mengumpulkan kekuatan agar dapat mengatakan apa yang akan dibicarakan. Aku iseng mengikuti dari belakang untuk menguping.

"Jadi gini, kita sudah tidak tau harus apa. Kita udah angkat tangan. Mungkin... beberapa hari lagi? Paling lama bisa seminggu. Bapak dan ibu... ikhlas, kan?"

Aku sedikit terkejut mendengarnya. Artinya aku akan meninggal dalam hitungan hari lagi. Ayah dan ibu nampaknya sudah ikhlas melepas kepergianku. Mereka bosan menangis. Karena tangisan mereka tak akan bisa mengembalikanku.

Melihat mereka, aku cukup sedih. Pasti akan sangat terpukul ditinggal oleh orang yang disayangi. Namun, di satu sisi, aku merasa lega dan akan tenang. Lega karena aku tak perlu mengkhawatirkan diriku lagi, tenang karena aku punya orang yang sama. Malah, aku punya orang yang tidak kupunyai sebelumnya.

Aku kembali masuk ke kamarku dan mendekati tubuhku yang tak sadarkan diri. Apa wajahku setampan ini kalau tidur? Wajahku tak menunjukkan betapa menderitanya aku di dunia sana. Malah wajahku menunjukkan kalau aku sedang 'beristirahat' dari kehidupan. Sangat damai dan tenang. 

"Kamu bentar lagi tenang. Gak usah khawatir sama jiwamu. Ada badan 'pengganti' yang bisa nampung jiwa ini. Istirahatlah" Begitu ku coba menyentuh wajahku, pandanganku gelap dan langsung tak sadarkan diri seperti pingsan. 

"HAH???" Saat ku buka mataku kembali, aku berada di kamar tidur di dunia paralelku lagi. Kamar terasa panas dan dadaku sesak padahal suhu di luar -10. Ku ambil handphone, dan jam masih menunjukkan pukul 4 pagi. 

Rasa kantukku hilang. Ini terlalu dini untuk bangun. Ayam saja belum berkokok. Sunyi dan sepi. Suara sekecil apapun terdengar jelas di telingaku.

Badan ini masih ingin tidur, namun mata seperti sudah siap beraktivitas. Korden yang sedikit terbuka memperlihatkan keadaan di luar. Bulan sudah tenggelam namun bintang masih bersinar.

Menghitung domba agar mengantuk tidak mempan karena dombanya sudah masuk kandang. Satu-satunya cara untuk mengantuk adalah mengkhayal. Mengkhayal bagaimana aku di masa yang akan datang. Apa yang akan terjadi padaku kelak jika badanku sudah meninggal? Jilid II kehidupanku dimulai.

Yang namanya mengkhayal memang selalu asyik. Rasanya akan sangat bahagia jika hal itu bisa terjadi.  Sayangnya, itu hanya mimpi dan imajinasi yang tak akan pernah terwujud, jika tidak diusahakan.

'Ah, wanda'

Namanya muncul di otakku. Orang paling aku rindukan jika sudah kembali nanti pasti dia. Aku tak pernah melihatnya di kampus. Bukan, aku saja yang tidak pernah mengunjungi fakultas lain. Namun bisa saja dia tidak kuliah di kampus yang sama.

Journey to Parallel World ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang