Worry

344 57 18
                                    

Seminggu berlalu sejak kejadian itu. Aku terus, terus memikirkan bagaimana keadaanku di sana. Terlebih lagi, aku tidak bisa menjenguknya karena saat ini aku tidak bisa bermimpi. Bahkan, sewaktu-waktu aku berasumsi bahwa jika aku sudah meninggal. Apa artinya aku tidak akan pernah bisa bermimpi lagi selamanya? Aneh memang karena aku baru saja menyadarinya. 

Seminggu beristirahat di rumah, aku sudah bisa beraktifitas seperti biasa meskipun masih harus membutuhkan bantuan orang lain. Aku kehilangan berat badan dan wajahku pucat karena badanku yang terbaring tidak sadarkan diri itu selalu muncul di otakku. Itu membuat nafsu makanku hilang. 

"Wonpil? Kamu sudah sehat?" Tanya ibu yang sedang bersarapan denganku. Tatapannya terlihat sangat khawatir. 

"Iya, udah"

"Bisa kan sendirian?"

"Iya. Sudah ya. Nanti aku telat"

"Habisin dulu makanmu!"

"Gak. Kenyang. Makasih makanannya" Aku berjalan menuju halte bis dengan kepala menunduk. Beberapa kali aku hampir menabrak orang, bahkan jalan pun agak oleng. 

Semua berjalan seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Aku tetap melakukan aktifitas dan rutinitasku dengan keadaan mental yang sedikit terganggu. Reaksi keluarga juga tidak seheboh yang aku kira. Bagaimana jika mereka tahu bahwa anak aslinya sedang terjebak di badan orang yang sedang tidak sadarkan diri? Aku pasti akan dianggap gila sudah berkata omong kosong. Orang-orang di dunia ini tidak ada yang bisa aku percaya dan percaya padaku. Hanya Jae yang percaya dan aku percayai di sini. Namun, dia juga sama sekali tak membantuku untuk kembali. 

Memikirkan waktu yang terus berjalan terkadang membuatku sedih. Bahkan hampir menangis di manapun. Umur manusia semakin berkurang setiap hari. Begitu juga dengan umur badanku. Semakin hari semakin berkurang dan tinggal menunggu waktunya.

Ah, rasa sakit kepala kembali timbul akibat berpikir terlalu keras. Aku pun beberapa kali hampir melewati halte. 

"Wonpil? Sudah sehat?" Jae menyambutku dengan tatapan sedikit khawatir. Begitu juga dengan yang lainnya yang langsung mengerubungiku dan menanyakan kabarku. 

"Mendingan"

Semua juga nampak biasa saja setelah menanyakan kabarku. Mereka memang cepat sekali berubah. Yang awalnya nampak khawatir, begitu mengetahui kabarku, mereka kembali ke tempat masing-masing dan melanjutkan agenda mereka. Secepat itu manusia berubah. Itu namanya ingin tahu, bukan khawatir. 

Aku melamun terus di kelas dan sesekali memperhatikan dosen mengajar agar dikira mencatat. Padahal yang kulakukan saat itu adalah mencoret-coret kertas tidak jelas untuk mengalihkan pikiranku. Di beberapa kesempatan pula aku berpura-pura menopang kepalaku untuk terlihat pusing agar bisa tidur.

"Pil, mau main?"

"Nggak, Jae. Aku mending pulang aja"

"Aku tau kamu pasti shock dan butuh waktu sendiri. Ya sudah. Ayo aku antar kamu pulang"

Aku memang butuh waktu sendiri untuk menenangkan diriku untuk jangka waktu yang bahkan tidak ku ketahui.

..

..

Mengisolasikan diri dengan berdiam diri di kamar memang pas meskipun yang ku lihat hanyalah langit yang sedang hujan membasahi bumi. Sengaja ku buku jendelanya sedikit agar wangi khas hujan tercium sampai kamar. Suara jatuh hujan terdengar semakin keras dan sedikit menenangkan diriku. 

Handphoneku berbunyi menandakan ada pesan masuk. Sengaja tidak ku silent agar mengetahui pesan atau telepon meskipun tidak ada yang masuk satupun. 

Journey to Parallel World ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang