Bagian 1

4.4K 134 1
                                    

"Mas, jadi benar di kantormu ada sektretaris baru?" Kuberanikan diri menyampaikan uneg-uneg yang sudah seminggu kutahan.

Mas Kevan berhenti meneguk air putih dari gelas kesayangannya. Seperti tak senang, ia menatap ke arahku, "Kenapa sih kamu bahas masalah begituan malam-malam begini? Aku tuh capek banget, Dek!"

"Heum ... maaf, Mas ... tapi udah beberapa hari ini kita jarang banget ngobrol, trus aku telpon ke kantor ka ...."

"Telpon kantor? Aduh ... kamu tuh apa-apaan sih, Dek? Bikin malu, tahu nggak?" Suara Mas Kevan meninggi.

" ... tapi, Mas ...."

"Hah, sudahlah! Aku mau tidur dulu. Besok harus berangkat pagi." Tanpa memedulikanku, Mas Kevan berlalu ke kamar.

Aku tertunduk. Perih sekali rasanya tak dihargai seperti ini. Padahal maksud hati hanya ingin bertanya, karena akhir-akhir ini Mas Kevan seperti tak peduli denganku dan seisi rumah ini. Meskipun raganya ada di sini, tapi tidak dengan jiwanya.

Tujuh tahun menjalani pernikahan, banyak hal yang telah kami lalui bersama. Suka dan duka sudah tak terhitung. Namun kali ini terasa sangat berbeda. Kian hari aku merasa kami semakin jauh.

Merasa pembicaraan kami belum tuntas, aku pun menyusulnya ke kamar setelah memastikan Neo tidur dengan nyaman di kamar sebelah. Neo adalah putra semata wayang kami yang berusia lima tahun.

"Mas ... kamu marah ya sama aku?" Kucoba mengajak Mas Kevan kembali berbicara. Dulu, waktu kami belum menikah, cara ini ampuh sekali untuk membujuknya yang sedang kesal.

Sekian detik menunggu, tapi tak ada jawaban. Ia malah membenamkan kepalanya di bawah bantal, dan membuatku hampir kehabisan cara untuk membuka tabir jiwanya yang entah mengapa kini selalu ingin ditutupinya dariku.

"Mas ...," kataku lagi sambil sedikit mengguncang tubuhnya.

"Ya, Allah! Maya ... Mas ini lagi capek banget. Kamu kenapa sih gangguin terus? Ah!" Meskipun dengan kalimat yang menyebalkan seperti itu, tapi aku senang akhirnya Mas Kevan menanggapi.

Kali ini aku tak menjawab dengan kata-kata. Kutatap saja matanya yang ia sadari atau tidak, selalu berusaha menghindar dariku sejak tadi. Kubiarkan ia yang memulai pembicaraan kali ini. Mas Kevan harus terbuka padaku, seperti biasanya. Aku tak mau ia berubah.

"Hufft! Kamu mau tahu tentang apa?" katanya kemudian.

"Sekretaris baru di kantor Mas," jawabku singkat, padat, jelas!

Sekian detik ia terdiam, seolah sedang mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan semua. Sementara aku tak mengalihkan sedikit pun netraku dari wajahnya.

"Ya, aku punya sekretaris baru." Akhirnya kalimat itu yang terucap.

"Seksi?"

"Pertanyaan apa itu?"

"Jawab saja, Mas. Apa sekretarismu itu seksi?"

"Jangan cari ribut malam-malam begini, Dek!" Entah apa yang membuat Mas Kevan merasa terdesak dan bergegas menarik selimut.

"Jangan menghindar, Mas!" kataku lembut tapi tegas. Kutarik kembali selimut yang sudah hampir menutupi sebagian tubuhnya.

Mas Kevan menatapku tajam, "Kamu yang lebih tahu. Bukannya kamu sekarang sudah pandai memata-mataiku? Uhuk ... Uhuk!"

"Loh, Mas sakit?" kataku saat melihatnya terbatuk.

Kali ini ia benar-benar tak menghiraukanku lagi. Mas Kevan menghempaskan tubuhnya di ranjang lalu terlelap dengan pulas.

***

Dalam doa shalat tahajudku samar terdengar suara gigil dari arah Mas Kevan yang masih berselimut. Perlahan kudekati dan meraba dahinya. Ya, Allah! Suhu tubuhnya tinggi sekali.

"Mas ...," kataku sembari membelai kepalanya.

"Hm."

"Mas demam. Aku kompres ya?"

"Hm."

Bergegas aku mengambil panci berisi air hangat dan perlengkapan kompres untuknya. Wajah Mas Kevan tampak tak berdaya di hadapanku. Sekilas penasaran muncul dalam benak, apakah karena interogasiku semalam terlalu keras sehingga membuatnya demam seperti ini?

Ah, pikiran konyol! Mana ada pertanyaan sederhana seperti itu disebut terlalu keras? Sekali lagi, itu hanya pertanyaan simpel dari seorang istri yang cemburu. Apa Mas Kevan tak tahu kalau aku sedang memendam cemburu pada sekretaris baru yang tiba-tiba saja hadir di kantornya tanpa memberitahuku lebih dulu?

Pasti ada yang heran tentang hubunganku dengan urusan kantor suamiku. Hm ... apa yang bisa kujelaskan? Sejak awal kantor itu didirikan, kami sudah sepakat bahwa Mas Kevan tak akan mempekerjakan sekretaris wanita. Ini untuk mengingat, menimbang dan mencegah segala kemungkinan terburuk di zaman yang sangat canggih ini.

Coba bayangkan bagaimana perasaanku ketika tahu bahwa suamiku melanggar perjanjian itu? Hey, aku ini istri pemilik perusahaan, dan aku juga berhak untuk tahu apa yang terjadi di sana. Meskipun perusahaan Mas Kevan belum terlalu besar, tapi di sanalah semua doaku tertambat, untuk keberhasilannya, dan kebahagiaan keluarga kecil kami.

Aku duduk di sisi tempat tidur, menunggui Mas Kevan yang sesekali mengerang. Dengan telaten aku mengganti kompresnya secara berkala. Usai memberikannya segelas air putih dan jus apel, kulihat Mas Kevan mulai membaik. Ia pun masih kuat untuk menunaikan shalat subuh seperti biasa.

"Mas, hari ini istirahat aja ya, jangan masuk kerja dulu," kataku sambil melipat mukena dan sajadah.

Mas Kevan kembali merebahkan tubuh di ranjang, lalu menutup mata. Kutinggalkan ia, dan beralih pada Neo yang juga sudah bangun.

"Ah, saya nggak apa-apa kok. Cuma demam."

"Jangan khawatir, Mely. Bosmu yang ganteng ini nanti juga baikan."

"Hm ... kamu juga jaga kesehatan ya."

"Haha ... bisa aja."

Deg! Di balik pintu aku tertegun. Kalimat-kalimat ceria Mas Kevan yang diucapkannya pada seseorang di seberang sana membuatku terbakar cemburu. Neo yang saat itu baru saja hendak ikut masuk ke kamar untuk melihat ayahnya, langsung kualihkan pada Mbok Sum, asisten rumah tangga kami, yang kebetulan hari ini datang lebih pagi.

"Mas, aku nggak suka ya kamu ngobrol mesra gitu sama orang lain!" kataku begitu berada di hadapan Mas Kevan yang terkejut akan kehadiranku. Spontan ia memutus hubungan telpon, lalu menaruh kasar gawainya di bantal.

"Dek, kamu menguping pembicaraanku? Lama-lama makin nggak sopan." kata Mas Kevan tak terima.

"Kamu yang nggak sopan, Mas. Tega-teganya berbuat begini pada istri dan anakmu!" balasku berkaca-kaca.

"Hah! Aku bosan diinterogasi seperti itu. Pantas ya, suami-suamimu sebelumnya nggak betah. Kamu tuh terlalu ngatur, tahu nggak!"

Astaghfirullahal 'adzim. Bentakan Mas Kevan membuat hatiku hancur berkeping-keping. Untuk pertama kalinya ia mengungkit tentang masa laluku. Ya, Allah ... sakit sekali rasanya. Apakah seseorang di telepon itu begitu berharga baginya?

Masih dalam keadaan kesal Mas Kevan memaksakan diri ke kamar mandi, meninggalkanku yang terisak. Sepertinya ia tetap akan ke kantor pagi ini.

Kususut air mata yang jatuh tanpa kompromi. Ada yang berkecamuk dalam jiwa. Sungguh takkan kubiarkan wanita manapun menghancurkan rumah tanggaku.

Lihat saja, Mas. Aku takkan menyerah!

***

SUAMI TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang