Bagian 6

2.1K 117 4
                                    

~ Untuk memenuhi janji dengan seseorang yang kau hormati, haruskah kau melanggar janji yang telah terucap untuk istrimu?

___

Jiwaku berkecamuk saat melihat Mas Kevan menarik tangan Mely masuk ke kamarnya. Bulir-bulir bening tak sanggup lagi kutahan.

Ya Allah, anakku ada di dalam kamar itu.

Bergegas kuambil kerudung jingga di dekat travel bag-ku, lalu memakainya. Dengan langkah seribu kuhampiri mereka.

"Mas!" Kudorong kuat pintu yang belum merapat sempurna itu.

"Maya?" Mas Kevan terkejut saat melihat kedatanganku. Aktivitas mereka terhenti dengan kepalan tangan Mely yang masih berada di dadanya.

"Lepaskan suamiku!" bentakku sambil menarik tangan wanita itu.

"Lepas!" Mely malah menyentak tanganku untuk membebaskan diri.

"Wanita nggak tahu malu! Ngapain kamu masuk ke kamar suami orang malam-malam begini?" Dadaku sesak melihat raut wajahnya yang seperti merasa tak bersalah.

"Bukan urusan kamu!" Ucapan kurang ajar itu keluar juga dari mulutnya. Karyawan macam apa yang dengan berani membentak istri bosnya bahkan di saat ia sudah jelas-jelas melakukan kesalahan fatal? Lancang!

"Mely!" Suara Mas Kevan meninggi.

Ada untungnya aku sempat membuat Mas Kevan terbuai beberapa saat yang lalu. Setidaknya, bukan hanya Mely yang ada dalam pikirannya saat ini, tapi yang utama adalah aku.

"Mas membentakku?" katanya sambil menatap tak percaya ke arah suamiku. Matanya berkaca-kaca.

Apa? Ia memanggil suamiku dengan sebutan "Mas"? Sejak kapan?

"Mely ... sebaiknya kamu kembali ke kamarmu." Mas Kevan mengucapkan itu tanpa menatap wajah Mely yang basah karena air mata.

"Mas ngu ... ngusir aku?" katanya terbata. Ada luka di matanya saat melihat sikap Mas Kevan padanya.

Ada apa? Apa selama ini mereka sudah sering menghabiskan waktu berdua di sini? Kutatap Mas Kevan dengan tajam. Mencoba menyampaikan pesan agar ia segera mengenyahkan wanita tak tahu sopan santun itu dari hadapanku.

"Mely ... tolong pahami keadaan ini," katanya lagi.

"Kamu tega ya, Mas? Kamu kan udah janji untuk jagain aku. Kenapa kamu kayak gini? Kamu seenaknya bersenang-senang sama istrimu, sedangkan aku, kamu tinggal sendirian, Mas. Memeluk kamu aja aku nggak pernah dibolehin tuh! Maksud Mas apa ha?" Teriakan Mely memenuhi seisi ruangan. Ia begitu emosi.

Ada sesuatu yang meletup di hatiku. Jadi Mas Kevan belum melakukan hal yang aneh-aneh dengan Mely? Oh, aku sedikit lega. Ternyata ia masih pria baik seperti pertama kali aku mengenalnya, bisa mempertahankan prinsip.

Harus kuakui akhir-akhir ini ia memang terlihat sedang kasmaran. Namun jika ia masih bisa menjaga diri untuk tak membiarkan wanita lain memeluknya, berarti aku masih punya peluang besar untuk merebut hatinya kembali.

"Bunda ...." Keributan yang terjadi membuat Neo terbangun.

"I ... iya, Sayang. Ini Bunda." Aku menghampiri Neo segera.

Masih kudengar Mas Kevan menyuruh wanita penggoda itu pergi saat kuusap kepala Neo dan berusaha menenangkannya agar tidur kembali.

"Aku mohon, Mely ... sekarang pergilah. Besok kita selesaikan masalah ini. Aku berjanji." Itu kalimat terakhir dari Mas Kevan untuknya. Wanita itu kemudian berlalu dari kamar dan menyisakan kebisuan di antara aku dan suamiku.

"Dek, maafkan Mas." Akhirnya Mas Kevan bersuara setelah sekian menit menjeda.

Aku membiarkan ucapan itu melayang di langit-langit kamar. Perih rasanya hati ini mengingat ada wanita lain dalam kehidupan Mas Kevan selain aku, apapun alasannya.

Dadaku sesak. Sesak oleh rasa cemburu yang membuncah saat wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk memasuki kehidupan kami, sementara suamiku tak melakukan sesuatu yang tegas untuk menyuruhnya menjauh.

"Dek, maafkan Mas," ucapnya lagi.

"Pecat dia dari perusahaan kita, Mas!" kataku, tanpa mengalihkan pandangan dari selimut yang menutupi tubuh Neo yang sudah kembali pulas dalam tidurnya.

Hhhh .... Hanya desahan napas yang kudengar dari suamiku. Ia seperti tak sanggup mengabulkan permintaan itu.

Pelan-pelan aku menatapnya. "Wanita itu sudah membentakku, Mas. Di mana harga diriku?"

Keleluasaannya dalam mendekati Mas Kevan selama ini adalah pelanggaran pertama yang ia lakukan terkait harga diriku, lalu bentakan yang baru saja terjadi malam ini, ah! Sungguh keterlaluan!

"Dek ...," kata Mas Kevan yang kemudian bersimpuh di depanku.

"Mas tahu sudah berbuat salah padamu. Please, maafkan aku. Tentang Mely ... Mas nggak mungkin ninggalin dia, Dek. Mas udah janji sama seseorang untuk menjaganya. Kamu ingat Om Wijaya kan?" Mas Kevan menatapku berkaca-kaca.

Kubiarkan Mas Kevan menceritakan apa sebenarnya yang terjadi antara ia dan Mely, meskipun aku sudah tahu sebagian cerita itu dari Bang Sukro. Aku ingin melihat sejauh mana Mas Kevan menghargaiku sebagai istrinya.

"Aku sebenarnya diminta untuk menikahi Mely." Jantungku seakan berhenti saat kalimat itu terucap dari bibir Mas Kevan.

"A ... apa? Menikah? Trus Mas mau?" kataku dengan suara yang mulai serak.

Mas Kevan tak menjawab. Iya malah menunduk dan tampak olehku satu tangannya menghapus air di sudut mata. Apakah itu artinya "ya"?

"Om Wijaya itu adalah orang yang pernah menolong keluargaku. Waktu itu, warung Ibu terbakar habis hingga ekonomi keluarga kami sempat sangat drop. Sebenarnya Ibu ingin aku berhenti saja dari kuliah. Sudah nggak ada biaya, Dek. Saat itulah Om Wijaya datang bagai pahlawan. Ia teman almarhum ayahku. Bagaimana caranya Mas menolak permintaannya?"

Ketidakberdayaan Mas Kevan membuat hatiku sakit. Haruskah ia mengkhianatiku untuk membalas budi Om Wijaya yang dulu pernah membantu keluarganya? Mengapa aku harus diperlakukan tidak adil seperti ini?

"Dulu, kita udah sepakat nggak akan ada yang namanya sekretaris wanita di ruanganmu. Rasa traumaku pada pengkhianatan sangat Mas hormati waktu itu. Mengapa sekarang semuanya terlupakan?" Aku berusaha menarik ingatannya.

Mas Kevan masih bersimpuh, menatapi lantai kamar hotel berwarna beige. Ia seolah mencari kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaanku, karena pada kenyataannya kehadiran Mely memang telah membuat perhatiannya terbagi.

"Dek ... semua ini terjadi begitu aja. Pertama kali Mas diminta Om Wijaya untuk mengunjungi Mely, ia sedang kacau banget. Kedua orangtuanya meninggal pada kecelakaan pesawat bulan lalu. Hidup Mely nggak tentu arah. Setelah sekian lama akhirnya Mas bisa mengajaknya bicara. Dan permintaan pertamanya adalah untuk menjadi sekretaris di kantor kita sebagai balas budi atas kebaikanku yang udah perhatian padanya." Mas Kevan menjelaskan panjang lebar.

"Om Wijaya yang mengetahui semua itu kemudian menginginkan lebih. Ia khawatir terjadi apa-apa jika Mely dibiarkan hidup sendiri. Maka timbul keinginannya untuk memintaku menikahi keponakannya itu. Kamu tahu kan, ia dan istrinya tinggal di luar negeri?" sambungnya lagi.

"Lalu aku kamu anggap apa, Mas? Janji kita kamu langgar! Apa aku segitu nggak berharganya di matamu?"

"Bukan begitu, Maya ...." Ada cahaya lain yang kutangkap dari tatapan mata Mas Kevan yang akhirnya berani menatap mataku. Sesuatu yang membuatku takut.

"Tolong jawab pertanyaanku dengan jujur, Mas? Apakah kamu telah jatuh cinta pada Mely?"

Hening. Mas Kevan kembali menunduk, lalu perlahan ia menatapku kembali.

"Rasa iba membuatku merasa harus melindunginya."

Aku terhenyak. Kata-kata Mas Kevan seperti menegaskan bahwa ia akan menerima permintaan Om Wijaya untuk menikahi Mely, melindunginya dengan jiwa dan raga.

Remuk hati ini rasanya. Aku sungguh tak rela berbagi suami dengan siapapun.

***

SUAMI TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang