Bagian 8

2.2K 115 0
                                        

~ Hanya aku dan Mas Kevan yang tahu seberapa banyak cinta ini tersisa. Aku ingin mempertahankannya, tapi ia? Entah.

___

"Sebenarnya, kenapa Mely pergi?" Aku terkejut saat Mas Kevan tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.

Sejam yang lalu kami sampai di rumah. Pertemuan bisnis di Surabaya sudah selesai dan tak ada yang perlu dilakukan lagi di sana, begitu kata Mas Kevan saat tiga tiket pesawat sudah dipesannya tadi siang.

Aku sempat bertanya kenapa jadwal berubah, tapi suasana sudah tidak kondusif sejak Mely pamit tanpa alasan yang membuat Mas Kevan puas. Di depanku ia memang tak membahas apa-apa selama waktu yang tersisa di Surabaya, pun dalam perjalanan pulang. Namun saat ia berkemas di kamarnya, siapa yang tahu suamiku sudah berbicara via telepon dengan wanita itu. Ya, siapa yang tahu!

Ah, biar saja. Untuk tahap ini sudah cukup tekanan yang kuberikan dengan berhasil menyuruh Mely untuk pergi. Walaupun aku yakin wanita itu akan mencari cara untuk terhubung dengan Mas Kevan kembali, namun pastinya bukan dalam waktu dekat. Aku tak mau terlalu menyudutkan suamiku sekarang. Santai saja.

"Dek?" Mas Kevan menarikku dari lamunan tentang kejadian tadi siang.

"M-memangnya kenapa, Mas?" tanyaku, menyelidik. Kutunggu jawabannya sambil lanjut mengeringkan rambut dengan handuk pink kesayanganku.

"A-aku ... nanti nggak tahu harus jawab apa kalau Om Wijaya menelpon," jawab Mas Kevan terbata.

Oh, seandainya itu sebuah kejujuran tentu akan membuatku lega. Namun anehnya, hatiku malah merasakan aura berbeda saat ia mengucapkan kalimat itu. Kekhawatiran tentang keselamatan Mely jauh lebih terpancar dari sorot matanya dibanding dengan urusan Om Wijaya.

Hening. Tanganku yang sejak tadi sibuk sendiri kini terhenti tanpa dikomando. Kuposisikan tubuhku berhadapan dengan Mas Kevan, lalu menatap tepat ke netranya yang hitam.

Aku ingin melihat apa yang tersimpan di hatinya sampai tega menanyakan semua itu kepadaku. Tak tahukah ia bahwa hal ini bukanlah hal yang mudah bagiku? Apakah menurutnya aku menerima situasi di mana suamiku diberi tanggung jawab untuk menjaga wanita lain di saat seharusnya ia mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya padaku dan putra kami? Ah, sungguh terlalu!

"Dek ... jangan salah paham dulu. Ini hanya karena Om Wijaya sudah menitipkan Mely padaku ...." Ada kalimat yang tak terucap setelah itu.

Aku mencoba memahami, aku mencoba percaya. Memang tak mudah jika berurusan dengan persoalan hutang budi. Kamu akan terjebak di antara rasa tak enak hati yang parah dan berpotensi membuat prioritasmu berantakan.

"Apakah aku memang udah nggak ada artinya lagi buat Mas?" kataku mulai berkaca-kaca. Tak pernah sanggup menahan yang namanya cemburu.

"Sayang, tolong jangan ngomong kayak gitu. Mas kan udah cerita semuanya ke kamu, May?" Mas Kevan meraih tanganku dan menatapku dengan wajah memelas.

"Tapi Mas selalu mencemaskan Mely! Aku sudah bukan satu-satunya wanita dalam hidupmu, Mas."

Mas Kevan terdiam mendengar ucapanku. Entah karena ia menyadari kesalahannya, atau mungkin hanya karena tak ingin memperdebatkan hal itu.

"Aku ingin rumah tangga kita utuh seperti dulu," sambungku lagi. Air mataku luruh. Sungguh tak siap jika pernikahanku kandas untuk yang ketiga kali.

Denting jam berbunyi di pukul 23.00 WIB. Kudengar helaan napas Mas Kevan perlahan. Ia kini meraih kepalaku dan membenamkan dalam pelukannya.

"Maafkan Mas, Sayang. Selama ini memang abai padamu dan Neo. Sebaiknya kita nggak bahas Om Wijaya dan Mely dulu ya. Istirahat dulu. Besok hari yang padat."

***

Pagi yang cerah. Aku ikut ke kantor dengan Mas Kevan hari ini. Setelah pembicaraan semalam, kami mulai fokus pada urusan pekerjaan yang sudah menanti. Ada proyek instalasi AC sebuah hotel baru yang akan ditangani perusahaan.

Aku membantu menyiapkan semua berkas yang diperlukan oleh Mas Kevan dan timnya. Dengan mulai aktifnya aku kembali, ada sedikit perubahan jadwal dalam keseharianku.

Tugas untuk menjemput Neo tetap terlaksana, namun bocah itu kuboyong ke kawasan kantor dan menempatkannya di sebuah penitipan anak ternama yang berjarak dua gedung dari kantor kami.

Secara berkala aku akan mengunjungi dan bermain bersamanya sekitar lima belas menit. Awalnya Neo merasa kurang nyaman, tapi setelah menemukan teman yang satu hobi dengannya, ia pun mulai melupakan segala resahnya. Anak-anak memang selalu menggemaskan.

Langit mulai gelap. Siapa sangka di hari pertama bekerja, kami harus lembur. Sebagai atasan, Mas Kevan memang tak pernah meninggalkan tim di saat-saat penting seperti ini. Baginya, persiapan untuk pekerjaan besar harus dilakukan secara cermat.

Pembagian tugas setiap tim sudah dirancang sedemikian rupa, dan aku selalu yakin dengan kepiawaian suamiku tentang hal ini. Ia memang sosok leader yang paham betul dengan situasi di lapangan.

"Bun ... Neo ngantuk." Suara Neo yang serak membuat kami semua menoleh. Tergopoh ia berjalan ke arahku.

"Mmm ... sini, Sayang. Bobok sama Bunda," kataku sambil menghentikan kegiatan, lalu menggendongnya menuju sofa yang terletak di ujung ruangan.

Salahkah aku sudah membuat Neo terlibat dalam urusan ini? Putraku tampak lelah sekali. Kurebahkan ia di sofa panjang berbantalkan pahaku. Kubelai lembut kepalanya, dan tak berapa lama ia pun terlelap.

"Maafkan Bunda, anakku," bisikku, lirih.

Lelah yang menyergap ternyata juga membuat mataku terpejam. Rasanya baru sekejap saat belaian lembut menyentuh pipiku. Aku terbangun dan mendapati Mas Kevan sedang menatapku dengan raut iba.

"Ayo kita pulang, Sayang."

***

Seminggu berlalu.

Pagi-pagi sekali aku sudah memasak di dapur. Tak lama berselang, menu sarapan kesukaan Mas Kevan dan Neo akhirnya terhidang.

"Ayah dan Neo ... yuk, kita sarapan dulu," kataku saat mendapati mereka sedang bercakap-cakap ala best friends di taman belakang.

"Sebentar ya, Bunda ... aku sedang mengajarkan Ayah tentang sesuatu." Suara kecil Neo begitu bersemangat menyahutku.

Aku hanya bisa tersenyum sambil menatap bahagia melihat kehangatan ini. Jauh di lubuk hati terdalam aku berharap semua takkan pernah berubah.

Selanjutnya sarapan pun berlangsung. Neo yang sepertinya masih ingin bercerita banyak, diinstruksikan oleh ayahnya untuk tak bicara apapun selama menyantap hidangan. Ia akan diberi gelar Si Hebat jika bisa melakukan itu.

Melihat wajah Neo yang terkejut saat kadang tanpa sadar tetap bersuara, benar-benar membuat gemas. Sekuat tenaga ia berusaha mempraktekkan langsung titah ayahnya, meskipun akhirnya gagal juga. Lalu pecahlah tawa kami bertiga.

Belum sempat Mas Kevan menghabiskan sarapannya, nada dering ponselnya menyela. Awalnya ia mengabaikan. Namun bunyi itu berulang hingga tiga kali, membuat ia akhirnya menjawab panggilan itu.

"Halo."

...

"Iya, saya. Dari siapa ini?"

...

"Apa? Mely kenapa? Ya, Allah!"

Selanjutnya Mas Kevan terlihat sangat panik. Buru-buru ia mencuci tangan, dan berlari ke kamar.

"Mas, ada apa?" tanyaku, saat ia keluar dengan jaket kulit yang sudah terpasang di badan.

Mas Kevan berhenti, lalu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. "Dek, aku pergi dulu," katanya singkat.

"Mas ... tunggu!"

Tanpa menghiraukanku lagi ia berjalan keluar dan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ya, Allah! Kuharap ini bukan pertanda buruk.

***

SUAMI TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang