~ Ini bukan tentang aku, wanita lemah yang mengemis cinta pada suami, tetapi tentang dua wanita yang sedang bersaing menunjukkan pesonanya untuk memenangkan hati seorang pria. Baiklah, aku akan menganggapnya begitu.
___
Aku melihat suamiku sedang dipermainkan oleh ketidakberdayaannya. Meskipun hati ini remuk, tapi aku benar-benar tak mau menyerahkannya begitu saja pada wanita yang pura-pura rapuh menghadapi hidup.
"Aku pergi dulu, Mas," kataku pelan, lalu berdiri sambil menghapus air mata.
"Maya ...." Sigap pria itu bangkit dan memegang tanganku. Aku hanya membalas dengan tatapan, menunggu kalimat berikut yang hendak meluncur dari mulutnya.
"Tolong maafkan Mas, Sayang." Mas Kevan menatap jauh ke dalam netraku.
"Sebenarnya apa yang terjadi antara Mas dengan dia? Beneran kalian nggak macem-macem?"
"Oke, Mas akan cerita semua. Duduk dulu," katanya sambil menuntunku duduk di pinggir ranjang.
"Beneran kalian nggak pernah pelukan? Kalau iya, kenapa ada aroma parfum wanita di baju Mas saat pulang malam waktu itu?" kataku tak sabaran.
"Dek, kehadiran Mely yang mendadak benar-benar membuat Mas gelagapan. Om Wijaya bahkan menelpon saat pekerjaan sangat padat di kantor. Aku bertindak cepat karena waktu itu Mely udah sampai ke tahap membahayakan dirinya." Mas Kevan menghela napas.
"Dia mau bunuh diri?"
"Nggak sih, tapi mabuk-mabukkan."
"Astaghfirullah."
Hening. Aku dan Mas Kevan terjebak pikiran masing-masing.
"... tapi bukan berarti ia boleh mengacak-acak kehidupan kita, Mas!" kataku tiba-tiba. Sesak sekali dada ini.
Mas Kevan hanya diam. Jiwaku merasakan ada sesuatu di hatinya yang buru-buru bersembunyi agar tak kuketahui. Aku yakin ini semua tentang kecantikan dan tingkah Mely yang manja.
Pria tak pernah tahan jika berhadapan dengan situasi itu. Mungkin benar awalnya Mas Kevan hanya merasa harus melindunginya, tapi seiring waktu, kehadiran Mely tentu mengusik naluri lelaki suamiku.
"Malam itu, waktu ada orang tua karyawan kita yang meninggal, kami semua datang ke rumahnya. Mely pingsan saat melihat almarhum di rumah duka. Mungkin ingat orang tuanya."
"Lalu?" Mataku membulat saat membayangkan adegan selanjutnya, sebab itulah momen di mana aku mencium aroma parfum seorang wanita saat Mas Kevan sampai di rumah.
"Aku dan Robin mengangkatnya, dan mengantarnya pulang."
Ah, lega! Ternyata ada Robin saat kejadian itu.
"Trus kenapa sih malam itu telponku malah buru-buru dimatiin?"
"Om Wijaya menelpon, Dek. ART Mely menghubungi beliau saat Mely pulang dalam keadaan pingsan."
Aku menghembuskan napas putus asa. Mengapa semua harus ada alasannya? Semuanya pas, meski konyol bagiku. Tak bisa rasanya hati menerima jika seseorang yang tak pandai menjalani hidupnya, lantas hadir untuk mengambil sesuatu sesuka hati dari hidupku.
"May, sekali lagi tolong maafkan Mas, Sayang." Mata teduh itu kembali menatap dalam ke manik mataku.
"Kalau begitu pecat dia, Mas. Hentikan semua ini sekarang juga!" Kugunakan kesempatan untuk membuatnya sadar bahwa ini adalah satu-satunya jalan agar mendapat maaf dariku.
"Dek ... persoalannya nggak semudah itu. Tolong ka ...."
"Kalau nggak bisa ya udah!"
Berlari kecil kutinggalkan Mas Kevan dengan bibir gemetar. Ia seperti tak tahu harus berkata apa lagi karena aku takkan pernah mau menerima penjelasan apapun untuk pembenaran tentang cintanya yang terbagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI TERAKHIR
Roman d'amourMaya terguncang saat mengetahui suaminya, Kevan, mulai berubah. Semua itu bermula sejak kehadiran seorang sekretaris wanita di kantornya. Kebohongan demi kebohongan mulai terkuak. Wanita yang diangkat menjadi sekretaris itu ternyata titipan dari ses...