~ Mas Kevan, benarkah ini akhir kisah kita?
___
Aku masih berurai air mata melihat ke arah mobil suamiku yang benar-benar sudah menghilang. Tanpa sadar tubuhku tersandar ke dinding mobil. Ada luka mendalam yang ditorehnya hingga terasa sulit sekali untuk bernapas.
"Ya, Allah! Tolong kuatkan aku," ucapku, lirih. Kutekan dada dengan telapak tangan untuk meredakan sesak.
Aku merasa semuanya memang akan berakhir. Kecupan terakhir dari Mas Kevan hanya semakin memperparah luka ini. Seharusnya ia meninggalkanku begitu saja, atau memakiku sekalian agar harapan ini tak pernah terpupuk.
Aku sangat menyesali sikap Mas Kevan yang tak pernah bisa tegas untuk menyelesaikan masalah balas budi ini. Berapa kali harus kukatakan? Aku bukan wanita yang rela berbagi suami dengan wanita lain.
Saat seluruh egoku menimpakan semua kesalahan ini pada Mas Kevan, dalam waktu yang sama ada ketukan halus yang seolah mengingatkan bahwa sejak ia mulai berubah, akulah yang ingin mempertahankan pernikahan kami. Jadi ini bukan murni kesalahannya kan? Aku yang tak mau menerima kenyataan.
Mati-matian kulakukan usaha untuk membuatnya berpaling dari wanita jahat itu, walaupun sesungguhnya tak pernah ada keluhan apapun dari Mas Kevan tentang pengabdianku selama menjadi istrinya.
Tentang penampilan? Tak ada masalah. Sejak dulu aku selalu memperhatikan hal penting satu ini. Bukan bermaksud untuk bersusah payah menarik perhatian lawan jenis, tapi memang aku sangat suka merawat diri.
Menurutku, perawatan adalah bentuk rasa syukur dan kebebasan berekspresi alami dari seorang wanita. Aku juga menjadikan olahraga sebagai pelengkap dari rangkaian semua itu untuk menikmati keindahan yang paripurna.
Komunikasi? Mas Kevan dan aku adalah partner hebat dalam segala hal. Status pernikahan adalah peresmian ikrar atas hubungan luar biasa yang dianugerahkan Allah pada kami.
Ah, mengapa aku jadi teringat ucapan Bang Sukro? Katanya waktu itu, aku ini orang yang membosankan. Benarkah? Sial!
Tubuhku merosot hingga terduduk di paving block. Hanya keutuhan keluarga yang kuinginkan. Kini semua itu tak mungkin lagi kuraih. Aku gagal menjadi seorang wanita sejati. Gagal mempertahankan rasa cinta di dalam hati suamiku.
"Permisi, Bu." Suara itu membuatku tersadar bahwa aku masih berada di halaman kantor.
"Astaghfirullah," ucapku, spontan. Aku tengadah, dan mendapati seorang satpam berdiri tepat di hadapanku.
"Maaf, apa Bu Maya baik-baik saja?"
Aku hanya kebingungan mendengar pertanyaannya. Tak tahu bagaimana harus menjawab. Aku malu sekali. Mungkin ia sudah menyaksikan semua yang terjadi antara aku, Mas Kevan dan Mely. Ke mana wajah ini harus kusembunyikan.
"Saya nggak apa-apa, Pak," kataku sambil berusaha untuk berdiri. Kuhapus air mata sekenanya. Sedikit demi sedikit berusaha kuredam amarah di hati. Terlambat untuk menjaga agar rasa malu tak menyeruak. Sebaiknya kuhadapi saja kenyataan ini.
"Maya!"
"Bang Sukro?"
Pria itu. Kehadirannya membuat situasi semakin rumit. Apa yang akan dipikirkan oleh satpam ini? Tadi melihat Mas Kevan bersama wanita lain, lalu kini seorang pria asing mendekatiku dengan sapaan seakrab itu.
"Maaf, saya temannya Bu Maya," kata Bang Sukro saat menyadari pria berseragam security itu menatap aneh ke arahnya.
"Loh, mobilmu kenapa, May?" Perhatiannya pun teralih. Bukan Bang Sukro namanya jika berlarut-larut dalam ketegangan. Ia lanjut mengomen kondisi mobilku yang hancur bagian depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI TERAKHIR
RomansMaya terguncang saat mengetahui suaminya, Kevan, mulai berubah. Semua itu bermula sejak kehadiran seorang sekretaris wanita di kantornya. Kebohongan demi kebohongan mulai terkuak. Wanita yang diangkat menjadi sekretaris itu ternyata titipan dari ses...