~ Suamiku berada di antara dua pilihan, aku atau sekretarisnya yang selalu menggoda di setiap kesempatan.
___
Aku merapatkan tubuhku pada Mas Kevan, lalu mendaratkan satu ciuman di pipi kanannya.
"Sampai ketemu lagi, Sayang," kataku, lalu meraih travel bag ungu yang kubawa dari Jakarta.
Sambil tersenyum kulirik wajah Mas Kevan yang bersemu. Matanya tak berkedip. Sementara Neo, putra kami, masih bersandar manja di pelukannya. Si kecil itu sudah membulatkan tekad untuk ikut ke kamar ayah yang sangat ia rindukan. Tentu saja aku mendukungnya.
Di dalam lift, kutangkupkan tangan ke wajahku. Apa yang sudah kulakukan? Ya, Allah ... malu sekali rasanya bersikap seperti itu di hadapan suami sendiri. Sebab pada kenyataannya, aku tak biasa melakukannya selihai itu.
Bukan berarti pernikahan kami selama ini datar dan hambar saja, tapi tingkahku hari ini memang berbeda jauh dari biasanya. Mungkin Mas Kevan terkejut bahkan curiga, sebab beberapa hari yang lalu kami sempat berdebat tentang sekretaris wanita yang ia pekerjakan di kantor.
Aku memang bukan wanita yang bisa menyimpan cemburu. Semua itu akan tergambar jelas di wajahku. Jadi bisa dipastikan bahwa Mas Kevan sudah tahu arah sikapku kali ini. Aku tak keberatan. Baguslah kalau memang begitu. Kami jadi bisa memperjelas situasi ini secepatnya.
Pintu kamar 401 kini ada di hadapanku. Sebuah ruangan bergaya artistik menyambutku dengan keharuman rosemary yang menenangkan. Aku langsung telentang di spring bed empuk itu. Seperti kasmaran, terbayang olehku adegan demi adegan yang kulalui bersama Mas Kevan di lobi.
Hm ... ternyata bertingkah genit di depan suami mampu menumbuhkan getar-getar asmara yang dulu telah terkikis. Tiba-tiba aku teringat jam makan malam nanti. Aku harus mempersiapkan diri dengan baik agar Mas Kevan terpukau. Wow ... terpukau!
Kini aku berdiri tegak di depan cermin. Entah mengapa tergerak hati ini untuk melakukan workout sejenak. Tak ada salahnya mengeluarkan sedikit tenaga demi tampilan yang lebih fresh di depan pujaan hatiku.
Mulailah kulakukan peregangan dan pemanasan. Lalu alunan irama zumba perlahan mengiringi gerak tubuhku yang dipenuhi semangat membara. Oh, Mas Kevan ... kamu benar-benar telah membangunkan sesuatu yang luar biasa dalam diriku.
Namun hanya tiga puluh menit aku sanggup melakukannya. Aku kemudian terkapar di lantai kamar, membiarkan jiwa dan raga beristirahat sebelum menjalankan rencana selanjutnya. Tak apalah!
***
Suara ketukan pintu berakhir dengan sebuah kejutan. Mas Kevan dan Neo ternyata sudah berdiri gagah saat pintu kubuka. Tentu saja karena Neo juga harus mandi sebelum nanti kami makan malam bersama.
Aneh ya, dalam situasi ini aku sama sekali tak sempat memikirkan Mely yang mungkin saja tadi sudah sempat menelepon atau bercakap dengan Mas Kevan untuk memprotes deretan kejadian sore ini.
Bisa saja mereka bahkan sudah sempat bertemu di hadapan putraku dengan dalih teman kerja atau petugas hotel. Entahlah! Satu hal yang pasti, bahwa aku akan fokus pada rencanaku saja. Bisa membuat pikiran Mas Kevan terpecah dari pengaruh wanita itu, sudah menjadi awal yang luar biasa.
"Bunda ... tadi aku main seru di kamar Ayah," lapor Neo begitu masuk ke kamar.
"Oh ya? Memangnya di kamar Ayah ada mainan?" kataku sambil menjepit hidung mungilnya.
"Ada, Bun. Trampolin. Kasurnya kujadikan trampolin. Haha." Tingkah Neo yang lucu membuat kami bertiga tertawa lepas.
Tanpa menunggu waktu, aku pun menyiapkan Neo dengan atasan bermotif salur monokrom yang senada dengan kerudungku. Siapa sangka, ayahnya juga menggunakan motif yang sama dengan kami berdua. Matching deh!
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI TERAKHIR
Lãng mạnMaya terguncang saat mengetahui suaminya, Kevan, mulai berubah. Semua itu bermula sejak kehadiran seorang sekretaris wanita di kantornya. Kebohongan demi kebohongan mulai terkuak. Wanita yang diangkat menjadi sekretaris itu ternyata titipan dari ses...