"Cara menghadapi pelakor adalah dengan memberikan apa yang ia mau, lalu merampas segalanya kembali saat ia lengah. Kali ini aku takkan salah langkah lagi."
___
Hatiku gelisah sejak mendengar suara wanita lain saat bercakap via telepon dengan suamiku. Mas Kevan benar-benar keterlaluan! Apa ia lupa bahwa dulu ialah yang memaki Bang Sukro saat tega-teganya mengkhianatiku?
Sepuluh tahun lalu, aku dan Mas Kevan masih bekerja di perusahaan yang sama. Mas Kevan adalah manajer produksi, sementara aku salah satu karyawan divisi marketing. Waktu jam pulang kantor tanpa sengaja ia melihatku diperlakukan tak pantas oleh Bang Sukro, suamiku saat itu. Mas Kevan sangat marah, dan itulah awal yang membuat kami menjadi dekat.
Hubungan kami berlanjut di kantor. Karena ia pria yang baik, hubungan itu hanya terjadi atas dasar pertemanan, tak lebih. Sampai akhirnya rumah tanggaku semakin berantakan saat Bang Sukro menghamili pegawai laundry langganan kami.
Masih lekat dalam ingatanku ketika aku mendatangi pelakor itu dan marah-marah di depan rumahnya. Aku menjambak rambut panjangnya hingga rontok berserakan. Apa yang kudapat? Bukannya membela, Bang Sukro malah menjatuhkan talak tiga pada saat itu juga.
Ia sepertinya geram saat kekasih gelapnya teraniaya olehku. Semua orang yang kebetulan berkumpul melihat kejadian itu menatap miris kepadaku. Seolah aku yang salah. Padahal pelakor itulah yang telah merebut suamiku.
Pernikahan keduaku itu bahkan baru berusia sepuluh bulan. Aku dan Bang Sukro belum dikaruniai anak. Yah, memang peruntunganku tak terlalu bagus untuk sebuah pernikahan. Jika diingat kembali, pernikahan pertamaku juga tak kalah menyedihkannya.
Terpaut usia dua puluh tahun dengan pria yang tak lain adalah teman pamanku sendiri. Aku yang memang dibesarkan oleh paman dan keluarga harus menolongnya untuk melunasi hutang yang cukup banyak.
Sebagai gadis polos, aku tak tahu harus berbuat apa dan menuruti semua keinginan mereka. Om Cahyo adalah seorang duda. Anaknya sudah kuliah semua. Dari pernikahan itu, suami pertamaku ini memang tak mengharapkan keturunan lagi.
Jika dilhat dari kekayaan, ia memang orang yang kaya harta, namun sifatnya sangatlah memprihatinkan. Mabuk-mabukkan adalah hal yang biasa baginya. Sejak hari pertama pernikahan ia sudah memperlihatkan perilaku yang membuatku tak betah. Ketika suatu hari aku menguatkan diri untuk mengungkapkan keberatanku, Om Cahyo malah memukulku hingga babak belur.
Kejadian itu kujadikan kesempatan untuk meminta cerai darinya. Banyak drama juga waktu itu. Namun alhamdulillah bukti kekerasan fisik yang ia lakukan, sangat membantuku untuk bisa terlepas dari kekejamannya.
Mungkin ada yang tak percaya atas apa yang menimpaku ini, tapi begitulah kenyataannya. Aku belum pernah seberuntung saat menikah dengan Mas Kevan seperti sekarang.
Kini kami sudah memiliki Neo yang sangat cerdas dan setampan ayahnya. Sebab itu, aku benar-benar terkejut atas perubahan sikap Mas Kevan yang sampai setega ini bermain di belakangku.
***
Sayup kudengar bunyi mobil di depan pagar. Akhirnya Mas kevan pulang juga. Kulirik jam di dinding menunjukkan pukul 02:30 WIB. Andaikan ia tahu, sejak teleponnya terputus aku tak bisa berhenti memikirkannya. Tak sepicing pun mata ini menutup.
"Astaghfirullah! Lho, belum tidur, Dek?" kata Mas Kevan yang terkejut saat melihatku masih duduk di sofa ruang tamu selarut ini.
"Belum," jawabku simpel, lalu menyalaminya seperti biasa. Sekuat tenaga kutahan diri untuk bertanya dan meluapkan semua emosi yang memenuhi dadaku.
Kami melangkah ke kamar dalam diam. Aku yang berjalan di belakangnya dapat dengan jelas mencium aroma parfum wanita dari kemeja biru yang ia kenakan. Ya, Allah! Semoga suamiku tak melakukan hal hina di luar sana.
Aku langsung menghambur ke ranjang. Menutup tubuh dengan selimut, dan mendengarkan langkah Mas Kevan yang sibuk bolak-balik kamar mandi lalu ke luar. Entah apa yang ia lakukan, dan entah mengapa pula aku malah tak menanyakan apa-apa.
Jujur aku bingung harus bagaimana. Bayangan talak tiga seperti yang pernah diucapkan Bang Sukro sepuluh tahun yang lalu seolah menjadi momok bagiku jika aku berusaha untuk mencampuri urusan Mas Kevan kali ini. Ia sedang dimabuk asmara, dan tentunya orang lain hanya akan salah di matanya.
Waktu berlalu. Dua jam kemudian subuh pun menjelang. Aku yang begadang semalam suntuk, kini sukses menatap wajah lelah di cermin kamar mandi. Huffh! Betapa menyiksanya memperlakukan diri seperti ini.
Namun tugas tetaplah tugas. Aku bersiap untuk menyiapkan sarapan seperti biasa saat kejadian aneh itu ada di depan mataku.
"Lho, Mas nggak ke kantor hari ini?" tanyaku heran. Mas Kevan sedang duduk di sofa kamar sambil menyalakan laptopnya. Pemandangan yang tak biasa.
"Oh ... aku mau istirahat dulu sebentar, tapi nanti sore ada urusan kerjaan ke Surabaya. Tolong siapkan baju-bajuku ya, Dek." Mas Kevan melihat sekilas ke arahku lalu menatap layar laptopnya kembali.
Langkahku terhenti. Ada curiga yang menjalar di sela-sela hati.
"Tumben, mau ke luar kota nggak kasih tahu dulu, Mas? Memangnya urusan kerjaan apa?" tanyaku lagi. Dulu sewaktu perusahaan ini dibangun Mas Kevan, ia selalu menjadikanku tempat berdiskusi. Jadi aku merasa wajar saja menanyakan tentang agendanya ke Surabaya kali ini.
"Mau ketemu teman waktu kuliah. Dia mau kerja sama dengan perusahaan kita."
"Ooh .... Berarti Mas pergi sendirian ya?" tanyaku hati-hati.
Gerakan Mas Kevan terhenti, meskipun matanya tak beralih dari layar. Kentara sekali saat ia berusaha mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaanku itu.
"Hm ... lihat nanti sih. Kalau temanku itu perlu kita meeting langsung dengan timnya di sana, artinya kita juga harus siapkan tim dari sini," jawab Mas Kevan, akhirnya.
"Tim?"
"Iya. Kenapa?" Mas Kevan kini menatapku serius.
"Nggak apa-apa. Hm ... kalau gitu Mas mau ya anterin Neo ke sekolah hari ini? Pernah bilang, sesekali mau diantar sama Ayah katanya." Kucari cara agar keterkejutanku tersamarkan.
"Boleh." Mas Kevan lantas melanjutkan pekerjaannya sebentar, sementara aku memutar otak agar suamiku bisa peduli lagi padaku, seperti dulu.
***
Nada panggilan masuk berbunyi. Kuambil gawai dari meja kaca di sudut kamar. Sebuah nomor baru muncul di layar.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumussalam. Maya!"
Ya, Allah ... suara itu! Aku sangat mengenalnya.
"Heum ... Bang Sukro?" ucapku terbata. Sungguh tak menyangka dalam keadaan kalut begini justru mendapatkan telepon dari mantan suami.
"Iya, May. Aku."
"Mas, tolong jangan telpon aku lagi ya."
"Eh, tunggu, May! Aku butuh bantuan kamu banget. Janji deh nggak macem-macem."
Bang Sukro! Ternyata ia masih menyimpan nomorku. Duh, untung Mas Kevan sedang mengantar Neo.
"Ada apa, Bang? Jangan lama-lama ya ngobrolnya." Aku tak suka ditelpon begini oleh seseorang yang telah menghancurkan hatiku.
"Aku mau pinjam uang, May. Anakku sakit. Bisa kan?"
"Aduh, Bang ... kenapa sih kamu libatin aku dalam kehidupanmu? Tolonglah, kita kan udah cerai."
"May, maafin aku karena udah banyak salah sama kamu dulu, tapi ini anakku May, dia nggak berdosa."
Sekian lama aku terdiam. Tak habis pikir karena setelah sepuluh tahun berlalu, Bang Sukro tiba-tiba saja datang meminta bantuan seperti ini. Apa ia tak punya teman atau saudara yang bisa menolongnya? Ah!
"May, bisa kan?" ulangnya lagi.
Desakan Bang Sukro entah mengapa lantas mempengaruhi otakku. Jika ia ingin kubantu, tak ada salahnya aku pun meminta bantuannya untuk menyelidiki Mas Kevan dan sekretarisnya itu.
"Oke! Dengan satu syarat ...."Kuceritakan singkat tentang rencanaku padanya. Bang Sukro sepertinya tak keberatan.
Untuk sementara aku takkan meminta Mas Kevan menjelaskan apapun. Baiklah, perang ini akan dimulai, wahai pelakor.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI TERAKHIR
RomansaMaya terguncang saat mengetahui suaminya, Kevan, mulai berubah. Semua itu bermula sejak kehadiran seorang sekretaris wanita di kantornya. Kebohongan demi kebohongan mulai terkuak. Wanita yang diangkat menjadi sekretaris itu ternyata titipan dari ses...