Bagian 2

2.1K 110 0
                                    

~ Aku memang pernah gagal dalam dua pernikahan, tapi bukan berarti aku tak berhak untuk bahagia di pernikahan yang ketiga. Takkan kubiarkan wanita itu merebut suamiku!

___

Usai menyiapkan semua perlengkapan kerja, Mas Kevan melewatiku begitu saja. Ia tak menyambut uluran tanganku yang ingin mencium punggung tangannya seperti biasa. Semarah itukah ia padaku?

"Mas ...," kataku sambil berusaha mengejarnya. "Mas ...," ulangku, mengetuk jendela mobil. Namun tak seperti harapan, suamiku sedikit pun tak menoleh apalagi membuka kaca mobil itu.

Masih bisa kulihat wajahnya yang sayu saat ia melaju. Seharusnya Mas Kevan tak memaksakan diri karena suhu tubuhnya masih tinggi.

Ya, Allah! Sepertinya rumah tanggaku benar-benar di ambang kehancuran. Namun tak mungkin suamiku berubah tiba-tiba hanya dalam seminggu. Pasti ada pemicunya.

Dalam hati, aku menganggap bahwa ini adalah perbuatan wanita jahat itu yang sudah mempengaruhi suamiku untuk tidak peduli lagi pada keluarganya. Terlalu!

"Bun ... Neo udah siap." Suara putraku melepas semua lamunan buruk yang menyergap.

"Oh, iya, Sayang. Ayo, Bunda antar ke sekolah."

Terlalu terpengaruh oleh persoalan dengan Mas Kevan, membuatku lupa bahwa aku harus mengantar Neo ke sekolahnya. Kusiapkan motor matic-ku segera. Taman Kanak-kanak tempat Neo sekolah masih berada dalam kompleks perumahan kami, jadi Neo masih bisa sampai tepat waktu.

Namun sepanjang perjalanan aku tak bisa berhenti memikirkan Mas Kevan, dan apa yang ia lakukan saat ini. Aku sudah menyusun rencana untuk berkunjung ke kantor Mas Kevan sebentar lagi. Sepertinya aku akan melewatkan jam pulang sekolahnya Neo. Sebaiknya aku menitipkan putraku untuk beberapa jam. Di sekolah itu memang ada fasilitas penitipan yang bagus.

Walaupun tadi aku berniat untuk mengajak Neo ikut serta ke kantor ayahnya, tapi mengingat apa yang sedang terjadi di antara kami, aku takut nanti terjadi sesuatu yang seharusnya tak boleh dilihat oleh si kecil ini.

Aku pulang untuk menukar kendaraan dengan mobil. Butuh waktu tiga puluh menit untuk mencapai bangunan tiga lantai itu. Ternyata sudah cukup lama aku tak berkunjung. Beberapa tanaman sekarang sudah berganti posisi. Ada sentuhan baru yang tampak pada taman kantor ini.

Tanpa pikir panjang aku pun melangkah menuju ruangan Mas Kevan.

"Heum ... Maaf, Ibu Maya ... Pak Kevan sedang ada tamu. Mari saya antar ke ruang duduk." Salah satu staf yang kukenal tiba-tiba mencegat dengan gugup. Tentu saja itu malah membuatku penasaran.

"Oh ya? Tamu dari mana?" tanyaku sambil mengikuti ajakannya untuk mengantar ke ruang duduk.

"Hm ... anu, Bu ...." Jawaban itu tak pernah selesai setelah sekian detik kutunggu.

Aku hanya tersenyum, mencoba tak berpikiran aneh tentang apa yang terjadi di dalam sana. Bagaimanapun aku tak boleh terpancing keadaan. Harus elegan.

"Kalau begitu tolong kasih tahu Pak Kevan kalau saya datang ya, Pak Robin," pintaku sambil menyibukkan diri dengan majalah yang kuambil dari meja.

"Baik, Bu," katanya berlalu.

Sepuluh menit kemudian akhirnya aku dipersilakan masuk. Seorang wanita berpenampilan sedikit terbuka menyambutku di pintu. Ia tersenyum ramah dan aku pun membalasnya.

Pandanganku beralih pada Mas Kevan yang sedang duduk menghadap laptop dengan wajah kusut. Aku tahu sebenarnya ia belum sanggup untuk bekerja hari ini.

"Mas, bagaimana keadaanmu?" Tanpa canggung aku berjalan ke arah Mas Kevan lalu meraba dahinya.

"Sudah mendingan," jawabnya tanpa mengalihkan netranya dari layar.

"Aku bawa sop kesukaanmu. Dimakan yuk," kataku sembari mengeluarkan kotak ungu dari paper bag. Aku berusaha menyingkirkan perasaan terabaikan saat suamiku berangkat kerja tadi pagi, dan mencoba berucap senormal mungkin.

"Tadi aku sudah sarapan," Mas Kevan menghentikan ketikannya, lalu menatapku. "Neo ditinggal sama siapa? Bukannya sebentar lagi harus dijemput?" sambungnya lagi.

"Kutitip sebentar di sekolahnya. Aku mau lihat Mas dulu. Takut terjadi apa-apa karena masih demam," kataku tersenyum.

Dulu aku sering mengunjunginya ke sini, membawakan makanan atau sekadar janjian untuk makan siang. Namun sejak hamil dan melahirkan putra kami, aku memang sangat jarang sekali melakukan aktivitas seperti dulu. Paling hanya saat acara tertentu saja bisa ikut menghadiri.

"Makan dulu sopnya yuk. Habis itu minum obat turun panas. Suhu tubuhmu masih tinggi, Mas," tawarku lagi.

Akhirnya Mas Kevan menuruti perkataanku. Aku merasakan bahasa tubuh Mas Kevan sedikit kikuk saat aku mengucapkan kalimat-kalimat perhatian itu. Sesekali matanya melirik ke arah sekretarisnya, entah merasa tak enak atau apa, yang pasti membuatku sangat cemburu.

Sebenarnya aku bisa saja marah padanya tentang kejadian tadi pagi, tapi aku tak mau jika masalah ini justru menjadi bumerang untukku. Aku ingin mengetahui secara pasti apa yang terjadi. Mungkin Mas Kevan sedang dijebak oleh wanita itu.

***

Pria itu sangat sensitif terhadap sentuhan, pujian, dan segala hal romantis ....

Suara seorang pakar relationship di video youtube memenuhi ruang kamarku yang temaram. Sejak tadi aku meringkuk di ranjang dengan hati berkecamuk. Di malam yang selarut ini, Mas Kevan masih belum pulang.

Tadi saat aku datang ke kantornya, ia tak bilang apa-apa tentang jadwal lembur. Ya, Allah ... sedang apa suamiku gerangan? Batinku mulai mereka-reka. Aku beranjak ke jendela dan melihat ke arah pagar beberapa kali. Sepi, tak ada pertanda mobil yang akan datang.

Kuraih gawaiku, mencoba menghubunginya. Lalu setelah sekian lama menunggu, akhirnya panggilanku dijawab.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam,"

"Masih di kantor kah, Mas?"

"Oh, nggak. Tadi orang tua teman ada yang meninggal. Maaf lupa ngabarin, Dek."

"Demamnya gimana, Mas?"

"Udah nggak apa-apa, kok. Tidur duluan aja ya. Mas sepertinya masih lama."

"Memangnya ntar malam banget ya pulangnya? Aku mau ngobrolin sesuatu, Mas."

"Ngobrolin apa?"

"Itu loh, Mas ... tentang ...."

'Ayo, Mas, diminum dulu. Mas pasti suka kopi racikanku. Pasti deh. Hmmm ....' Suara manja seorang wanita di seberang sana membuat kalimatku terputus.

"Itu suara siapa, Mas?" kataku spontan.

"Heum, Dek ... udah dulu ya. Mas lagi sibuk nih."

Tut ... tut ... tut.

Sambungan telepon langsung terputus. Dengan dada bergemuruh kucoba berulang kali menghubungi kembali nomor Mas Kevan, tapi tak ada hasil. Suamiku mematikan ponselnya.

Ya, Allah! Di mana sebenarnya Mas Kevan saat ini? Mataku mulai panas. Bulir bening itu tak mampu kutahan. Aku benci padanya.

***

SUAMI TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang