~ Suamiku, demi wanita itu mungkin saat ini cintamu untukku telah hilang. Namun aku berjanji akan menemukannya kembali. Jangan salahkan aku jika engkau jatuh cinta untuk kedua kali.
___
"MasyaAllah! Kamu makin cantik aja, May." Bang Sukro melongo saat melihatku berjalan ke arahnya.
Ah! Mantan suami macam apa ini? Seenaknya saja memujiku seperti itu. Apa ia lupa telah mencampakkanku?
"Jangan macem-macem, Bang! Udah janji kan?" ucapku ketus, lalu duduk di kursi seberang.
"Ini uang sepuluh juta. Bagaimana hasil kerjamu?" Aku bersikap profesional saja daripada menanggapi kekagumannya yang tak jelas. Dasar Bang Sukro ... ternyata begini sikapnya kalau sedang tak di dekat istri. Jelalatan!
"Alhamdulillah!" katanya sambil memeluk amplop cokelat yang kusodorkan. Matanya berkaca-kaca. Rupanya ia juga bisa menjadi manusia.
"Hm ... ini beberapa foto yang sempat kuambil kemarin sore. Kamu benar, suamimu pergi bersama wanita itu," paparnya.
Kupandangi semua foto yang diberikan Bang Sukro. Ya, Allah! Mas Kevan hanya berdua dengan wanita itu. Bahkan ia menjemputnya saat hendak berangkat ke bandara. Tanpa sadar ada bulir bening tumpah di pipiku.
"Duh, May ... jangan nangis dong. Mm ... memang suamimu keterlaluan. Menurutku kamu ini cantik kok, cuma agak em ... membosankan aja." Bang Sukro terkejut dengan ucapannya sendiri.
"Apa kamu bilang? Jahat kamu ya, Bang! Aku tuh lagi ada masalah berat tauk!" Kulemparkan benda-benda yang ada di meja itu pada Bang Sukro yang jadi serba salah.
"Aduh, iya iya ... maaf, May," katanya sambil mengelak dari lemparanku.
Kuremas foto-foto itu lalu terisak. Tega sekali kamu, Mas Kevan! Rutukku dalam hati. Sungguh malang nasibku. Tak pernah ada pria yang benar-benar tulus mencintai.
"Trus apa lagi informasi yang kamu dapat tentang wanita itu?" tanyaku di sela isakan dan amarah. Kuhapus kasar pipi yang basah.
"Sebentar," Bang Sukro mengeluarkan sebuah kertas catatan dari amplop yang dipegangnya.
"Dia itu ponakan dari Pak Wijaya. Infonya beliau pernah menolong suamimu saat masih kuliah dulu."
Tangisku terhenti, mencoba mengingat siapa gerangan Pak Wijaya yang disebutkan Bang Sukro.
"Memangnya kamu nggak kenal, May?" katanya saat melihatku keheranan.
Kuminta catatan itu, membacanya dengan saksama. Mely namanya. Lebih muda dibanding aku. Pamannya yang bernama Wijaya adalah orang yang dihormati oleh Mas Kevan. Tunggu! Siapa ya?
Ouh ya, aku seperti mengingatnya! Kalau tak salah, ia adalah salah satu tamu di pernikahan kami yang datang bersama istrinya.
Mas Kevan dulu memang bercerita banyak tentang orang-orang yang sudah dianggapnya saudara dekat. Benar yang diceritakan Bang Sukro, Pak Wijaya memang salah satu pahlawan dalam hidup suamiku. Seingatku, beliau sekarang tinggal di luar negeri.
Oh, jadi karena itu Mas Kevan melanggar perjanjian kami tentang sekretaris wanita? Tapi mengapa ia tak menceritakannya padaku kalau memang Pak Wijaya sedang butuh bantuan? Lalu mengapa mereka jadi semesra ini? Jiwaku berkecamuk.
"Ngomong-ngomong, kamu dapat informasi ini dari mana?" Aku menarik kesadaranku kembali.
"Rahasia dong, May. Jangan ragukan kemampuanku untuk hal seperti ini. Kalau kamu butuh apa-apa aku siap membantu."
Apa maksud Bang Sukro tentang 'butuh apa-apa' itu? Apa ia berpikir bahwa kami akan bertemu kembali untuk urusan ini? Aku bergidik membayangkannya. Semoga ia takkan bertindak sembarangan dengan kerjasama kecil kami.

KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI TERAKHIR
RomansaMaya terguncang saat mengetahui suaminya, Kevan, mulai berubah. Semua itu bermula sejak kehadiran seorang sekretaris wanita di kantornya. Kebohongan demi kebohongan mulai terkuak. Wanita yang diangkat menjadi sekretaris itu ternyata titipan dari ses...