Suasana kelas kini dalam pengawasan Oca. Gadis itu melempar buku tulisnya ke hadapan Dewa dan dengan sigap Dewa menangkapnya.
"Cepet kerjain. Itu udah gue kasih contekan, nggak usah banyak omong," Ujar Oca. Karena sudah lelah telinganya yang sedari tadi mendengar ocehan tidak berguna dari Dewa.
Pemuda itu pun tersenyum senang mendapat contekan dari Oca. Sebenarnya ia anak yang pintar juga cuma hanya malas saja. Nilai ulangan harian pun selalu tidak jauh beda dari nilai Oca.
Letak singgasana gadis itu berada di barisan ke-2 kolom ke-3. Ia duduk bersebelahan dengan Rahil. Merasa bosan, ia memulai bercerita kepada Rahil yang kini sedang sibuk mengerjakan tugas.
"Rahil, tadi gue ke kelas Ipa satu." Awalnya.
"Hm."
"Ngambil buku absensi bu Mila tuh kan."
"Hm." Oca berdecak sebal dengan sikap cuek yang dimiliki sahabatnya ini.
Gadis itu memanyunkan bibir dengan kedua tangan yang ia lipat di depan dada sambil menggerutu tidak jelas. Sungguh kekanakan.
Sudah empat tahun lamanya ia bersahabat dengan Rahil. Sejak kelas 7 Sekolah Menengah Pertama. Oca yang di sana sebagai murid pindahan dan tidak memiliki kenalan sama sekali. Ketika pulang sekolah ia hampir tersesat karena lupa akan jalan pulang, bisa dimaklumi ia baru saja pindah ke sana. Saat itu, langit sudah hampir gelap. Dirinya bingung, berdiri mematung di pinggir jalan mencoba memutar ingatannya agar ia bisa menemukan jalan yang ia lewati ketika berangkat tadi pagi.
Ia menangis sembari berjongkok dengan tangan yang memeluk kaki mungilnya. Disaat itu pula Rahil sedang melaksanakan amanah dari sang Mama untuk membelikan garam menggunakan sepeda. Di perjalanan, ia melihat anak perempuan seumuran dengan dirinya sedang berjongkok menyendiri.
Rahil ingin menghampirinya dan bertanya kenapa ia berjongkok di sini. Namun ia berpikir lagi bagaimana kalau itu hantu? Rahil bergidik ngeri hendak berputar balik dan mencari jalan lain.
Tapi entah mengap hati kecilnya mengajak untuk menghampiri anak perempuan itu. Dengan rasa penasaran ia menghampiri gadis itu.
"Ha... hai, kamu ngapain di sini?" Tanyanya dengan nada gugup.
Anak perempuan itu mendongak melihat keberadaan sosok gadis dengan sepeda di samping. "Kamu bisa tolongin aku?" Oca bertanya dengan nada bergetar. Sedangkan Rahil mengangguk ragu-ragu.
"Aku tersesat, ak- aku lupa jalan pulang, aku anak baru di sini. Tolongin aku."
"Kamu bukan hantu?" Dengan polosnya pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Rahil. Oca menggeleng.
Gadis itu mengangguk lalu menyuruh Oca untuk naik ke atas sepedanya agar ia bisa mengantarkannya pulang. Mereka berboncengan dengan Rahil yang mengayuh dan Oca duduk di belakang.
Esok harinya Rahil baru menyadari bahwa anak perempuan yang kemarin malam ia antar pulang juga bersekolah di sekolahnya. Semenjak kejadian itu mereka berdua selalu bermain bersama. Karena rumah keduanya tidak terlalu jauh juga.
"Selesai."
Oca memutar bola matanya malas. Rahil baru menyadari sahabatnya yang sedang kesal oleh sikapnya tadi. "Lo tadi mau cerita apa, Ca?"
"Si kancil nyolong pacar." Sahutan ketus Oca membuat Rahil tertawa.
"Ayo sini gue dengerin."
Gadis itu berdeham, entah kenapa kali ini ia sangat ingin menceritakan sesuatu hal. "Gue baru tau ada anak cowok berkacamata duduk di pojokan di kelas Ipa satu."

KAMU SEDANG MEMBACA
72 Days Cenayang. (completed) ✔
أدب المراهقينSetiap ucapan Arfando selalu ditepati, bukan maksud berjanji. Seperti layaknya cenayang, teman-temannya pun selalu enggan berbicara padanya sebab takut akan kalimat pemuda itu. Terkecuali Ocaysta yang malah meminta untuk di ramal bagaimana nilai rap...