Dua minggu sudah sekolahnya libur. Hari ini adalah hari dimulainya kembali aktifitas belajar mengajar. Semua murid saling berbincang satu sama lain, bertukar cerita tentang liburannya. Oca tersenyum melihat itu sembari terus berjalan di koridor anak Ipa. Tatapan aneh ia dapatkan dari beberapa orang di sana.
"Hallo, selamat pagi anak Ipa." Sapaannya kembali terdengar. Namun, untuk kali ini seperti ada yang berbeda.
"Jangan lupa senyum semuanya," Lanjutnya.
"Tumbenan banget itu anak stylenya buruk." Bisik seseorang.
Oca terkekeh mendengarnya. "Gue abis beli hoodie baru di Saturnus nih, cocok nggak di tubuh gue?"
"Cocok aja."
Gadis itu terkekeh kembali. Menertawakan kebohongannya, mana ada dirinya membeli hoodie baru.
Ia kembali melanjutkan jalan, menyeberangi lapangan yang menjadi saksi bisu pertama kalinya sang bunda bermain fisik kepadanya. Kejadian itu sangat berputar jelas di kepala.
Oca menatap lurus kepada empat temannya yang berada di bawah pohon seberang sana. Ia berlari menghampiri. "Hai? Boleh gabung?"
"Ca, tumben pake hoodie? Masuk angin?"
Oca tersenyum senang, salah satu dari mereka masih ingin berbincang dengannya, membuat seutas senyum terbit dari wajah. Tapi, sebelum hendak menanggapi pertanyaan Rahil, Chika lebih dulu menyela. "Rahil, kita pindah ke kantin yuk."
Oca meringis, kala Rahil memilih ajakan itu. Lagi-lagi ia harus menarik perasaannya kepada mereka. Mungkin sekarang saatnya ia hidup sendiri tanpa adanya seorang teman di samping.
Ia membuang napas nan panas itu, hendak melangkah kembali menuju kelas. Sapaan serta senyum sumringah tak jarang ia berikan kepada setiap orang yang melewati dirinya. Namun orang yang diberikan senyuman malah menatapnya dengan artian aneh. Mungkin, karena pakaian yang ia kenakan hari ini dapat dibilang sedikit buruk. Sebab, ia memakai hoodie merah jambu, kaos kaki hitam di hari Senin, rambut yang biasanya ia kepang rapih kini hanya dibiarkan tak terikat dan jangan lupakan juga lingkar hitam di sekitar mata.
Jika dipikir kembali yang saat ini sangat-sangat ia butuhkan bukanlah tujuan untuk ke kelas. Lantas, ia memilih berbalik arah hendak menuju toilet sembari berlari, melupakan fakta bahwa beberapa menit lagi pembelajaran pertama akan dimulai. Ia benar-benar sudah tak bisa menahan air mata lagi. Dirinya tak boleh menangis dilihat oleh temannya, yang harus mereka tahu hanya Oca si anak ceria bukan yang lemah.
Rapalan kata 'lelah' tak pernah absen dari lubuk hati. Karena pada nyatanya ia sudah teramat lelah. Bahkan untuk sekadar mengucapkan selamat pagi kembali pun kelu rasanya. Kedua kaki itu ingin terus melangkah, hingga dirinya mendongak untuk melihat seseorang yang satu meter di depannya tengah menatap penuh tanya.
Ia berusaha terlihat biasa saja. Senyuman lebar itu kembali ia perlihatkan teruntuk seseorang di depan sana. "Gimana liburan lo, Fando?"
Bukannya menjawab atau sekadar membalas dengan gerakan tubuh, pemuda itu malah menarik paksa lengan atas gadis itu menuju pembangunan gedung baru milik sekolah.
Saat langkah kaki Fando mulai melambat, Oca menghentikan langkah. Ingin rasa mengomel kepada pemuda itu namun kalah cepat dengan apa yang diberikan Fando. Fakta bahwa pemuda itu memeluknya erat bukanlah sebuah mimpi lagi. Ia seolah tahu apa yang dua minggu ini sangat-sangat gadis itu butuhkan.
Sanking eratnya pelukan yang diberikan membuat Oca memekik saat lengannya tergencat oleh tubuh keduanya.
Pemuda itu sontak melepaskan pelukan dan menyibak paksa lengan hoodie yang dipakai Oca. Lengan putih yang banyak dihiasi dengan goresan-goresan merah panjang yang sudah kering dan ada juga yang masih terlihat baru. Gadis itu melakukan self harm.
KAMU SEDANG MEMBACA
72 Days Cenayang. (completed) ✔
Fiksi RemajaSetiap ucapan Arfando selalu ditepati, bukan maksud berjanji. Seperti layaknya cenayang, teman-temannya pun selalu enggan berbicara padanya sebab takut akan kalimat pemuda itu. Terkecuali Ocaysta yang malah meminta untuk di ramal bagaimana nilai rap...