Matahari baru saja menyapa pribumi. Dan suasana hati Oca kini sedang tidak baik-baik saja. Tadi pagi di meja makan, orang tuanya mengambil semua fasilitas milik gadis itu. Dari mulai uang jajan yang dikurangi, jam belajar yang ditambah lima jam oleh sang mama, laptop beserta kata sandi wifi yang sengaja dirahasiakan dari Oca dan kendaraan untuk berangkat sekolah pun ikut disita.
Semua dilakukan sebab kemarin ia terkena tilang. Pak polisi menyuruh Oca menelpon kedua orang tuanya untuk mempertanggung jawabkan mengenai kesalahan berlalu lintas sang anak.
Gadis itu mendumal kesal. Kini dirinya terduduk di kursi penumpang bus bagian belakang. Ia yakin dengan jam yang sudah menunjukkan pukul 06.58. Dua menit lagi gerbang sekolah akan ditutup, sedangkan dirinya masih di dalam bus menunggu kemacetan ini lancar.
Jika saja kakaknya dengan senang hati mengantar adiknya sekolah mungkin ia tidak akan berakhir duduk di bus sambil menyaksikan kendaraan saling salip menyalip. Mendengarkan klakson kendaraan yang sama sekali tidak semerdu suara gendang, dan panasnya suasana akibat mesin kendaraan walaupun bus ini berAC.
Sudah lima belas menit lamanya ia di dalam, akhirnya bus berhenti tepat di halte sekolah. Tanpa berpikir panjang ia berlari cepat menuju gerbang yang sudah jelas-jelas tertutup rapat. Ia terus menggoyang-goyangkan gerbang itu membuat penjaga keamanan sekolah menghampiri dirinya.
"Kok tumben Neng telat masuknya?"
"Iya Pak maaf macet banget tadi, bisa tolong bukain nggak Pak, please."
Pak satpam berpikir-pikir, hatinya sangat ingin membukakkan pintu gerbang untuk Oca tapi pikirannya menyuruh dirinya untuk pergi ke pos meninggalkan Oca. Gadis itu membuat matanya berkaca-kaca.
"Please, pak Joko teh ya kan orang kasep. Kasep pisan malahan," Ujarnya berlogat sunda. "Kalo kata Ibu saya mah, orang kasep harus baik. Biar kasepnya nggak hilang."
"Gitu?" Gadis itu mengangguk antusias.
"Yaudah bapak bukakan pintu gerbang tapi neng Oca harus minta surat ijin dari guru piket!" Perintah pak satpam, lalu mengambil kunci dan membukakan gerbang.
Oca tersenyum senang. "Aaaa saranghae!" Teriaknya sambil membentukkan jari telunjuk dan ibu jari layaknya tanda hati. --Fingers heart.
Namun saat ini ia tengah terduduk berhadapan dengan guru piket untuk meminta izin masuk ke dalam kelas. Jujur saja, ini pertama kali dirinya terlambat. Jadi inilah yang membuat gadis itu sedikit gugup.
Guru piket itu menulis sesuatu di lembar kertas kecil. "Ini baru pertama kalinya kamu terlambat ya, Oca." Oca mengangguk. Entahlah jika di depan guru nyalinya 25% menciut apa lagi di depan guru killer seperti saat ini.
"Bisa kamu bayangkan saat kamu di luar gerbang, dobrak-dobrak gerbang sambil teriak-teriak di saat itu juga ada wartawan ke sekolah kita. Apa akibatnya?"
Oca menunduk. "Sekolah kita tercap tidak disiplin." Lirihnya.
"Permisi, Bu tadi Ibu manggil saya. Ada yang bisa dibantu?" Tanya seorang pemuda yang baru saja datang.
Guru piket itu melepas kacamatanya kemudian berucap, "Kamu kumpulkan data siswa siswi yang akan dikirim untuk mengikuti pesambutan Olimpiade minggu depan." Pemuda itu mengangguk paham, yang tak salah lagi adalah pembantu sekolah. Ralat, yang tak salah lagi adalah Ketua osis.
"Kak Yuda, makin hari makin ganteng aja, curiga kamu masang susuk."
Celetuk gadis itu mendapat plototan oleh Guru piket. Yuda hanya terkekeh, pujian Oca memang sudah biasa ia terima walau pun sedikit
diikuti candaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
72 Days Cenayang. (completed) ✔
Teen FictionSetiap ucapan Arfando selalu ditepati, bukan maksud berjanji. Seperti layaknya cenayang, teman-temannya pun selalu enggan berbicara padanya sebab takut akan kalimat pemuda itu. Terkecuali Ocaysta yang malah meminta untuk di ramal bagaimana nilai rap...