⚠ ⚠ ⚠ ⚠ Mohon maaf, untuk bab ini aku kasih trigger warning atas adanya adegan yang tidak patut ditiru. Jika kurang nyaman silakan diskip.
***
Sudah satu minggu lamanya Oca mengurung diri di kamar. Seharian penuh selalu berkutat dengan buku-buku tebal miliknya dan Calvin.
Sekolahnya diliburkan dua minggu setiap akhir semester.
Saat tiba jam 21.05 ia akan membuka korden jendela kamarnya dan menatap lurus ke arah langit. Meminta semangat gaib kepada rembulan dan bintang.
Ia meringis saat kepalanya berdenyut kuat. Ia menaruh telapak tangannya di dahi. Cukup panas, ia demam ternyata. Tak terasa juga tubuhnya semakin melemah tapi ia harus belajar hingga jam sebelas malam tiba. Ya, itu sebuah kewajiban dan tidak bisa ditinggalkan.
Ia tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya kembali.
Pintunya kamarnya terbuka, Calvin berjalan mendekat ke arahnya.
"Buku-buku baru buat lo." Ucap pemuda itu sembari menaruh sebungkus pelastik putih besar di kasur Oca.
"Kak, gue boleh istirahat nggak? Sebentar aja lima menit aja kok."
"Jam belajar lo udah habis belum? Kalo belum lanjutin sampai selesai."
Gadis itu mengangguk. Kemudian tak lama Calvin memilih untuk keluar dan meninggalkan adiknya kembali.
Ia kembali membaca buku. Matanya semakin memburam ditambah kepalanya yang semakin berat. Jika biasanya ia jam segini beronline ria dengan Satya dua minggu malam ini tidak ada sama sekali yang menghubunginya. Bahkan ke empat temannya pun tak ke rumah. Sekadar hanya untuk mencari tahu kabar dirinya pun tidak.
Ketukan di jendela kamarnya membuat fokusnya buyar dari buku tebal yang ada di hadapan. Oca mau tidak mau mengecek jendela itu.
Saat korden itu ia buka, tampaklah seorang pemuda dengan hoodie biru navy. Matanya berbinar menatapnya, tak disangka saat dirinya membutuhkan pelukan seseorang pemuda itu datang menghampiri. Entahlah mungkin lucifer sudah mengabuli do'anya, tinggal menunggu jiwa ini dijemput paksa.
Oca memeluk cepat pemuda itu. "Fan, maaf, tolong begini dulu. Gue butuh banget."
Terasa sekali tangan Fando mengelus lembut pundaknya. "Nggak apa-apa, nangis aja."
Gadis itu menyembunyikan kepala di dada bidang Fando. Ia tak peduli akan di bilang Fando gadis cengeng atau apa yang terpenting sekarang ia butuh pelukan. Tubuhnya sangat lemas, bahkan napas pun terasa begitu panas.
Oca terlonjak kaget dari kursi belajar saat percikan air membasahi wajahnya.
"Berani tidur kamu dijam belajar?"
Gadis itu menegakkan tubuhnya. "Tadi aku ketiduran, Bun."
Sang bunda menaruh kembali gelas air Oca ke atas meja dengan kasar. "Udah berapa buku yang kamu habisin hari ini."
"Tiga."
"Tiga? Kemana yang dua itu. Biasanya lima kamu lahap habis. Kenapa? Udah mulai males lagi kamu?"
"Enggak gitu, Bun."
"Lanjut lagi belajarmu, sekali lagi Bunda tau kamu ketiduran di meja belajar. Bunda seret kamu ke kamar mandi." Ujar sang Bunda tak main-main. Sebelum akhirnya pergi menutup pintu dengan kasar.
Oca menyandarkan tubuh di kursi. Sakit, hatinya sakit, kepalanya sakit, tubuhnya sangat sakit. Dia hanya butuh pelukan. Hanya pelukan.
Entah itu dari orang lain, penjahat atau hantu ia sangat-sangat butuh itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
72 Days Cenayang. (completed) ✔
Roman pour AdolescentsSetiap ucapan Arfando selalu ditepati, bukan maksud berjanji. Seperti layaknya cenayang, teman-temannya pun selalu enggan berbicara padanya sebab takut akan kalimat pemuda itu. Terkecuali Ocaysta yang malah meminta untuk di ramal bagaimana nilai rap...