"Bawa dia ke luar kelas!""Lepas!"
"Jangan takut, ini hari ulang tahun mu kan? Kami hanya ingin memberi kejutan."
"Bagaimana kalau memberinya kue?"
"Ide yang bagus, kebetulan sekali aku membawa telurnya."
"Jadi, kita lemparkan saja?"
"Tidak, jangan!"
"Rasakan ini kutu buku!"
"Kau masih bertanya? Kau tak punya kaca ya?"
"Apa kau tak mau melihat dirimu sendiri? Kau tak mau bertanya apa kau sudah pantas mengajakku ke prom night atau belum?"
"Aku tak mengatakan kau jelek. Tapi ya.. kau berkaca saja sendiri sebelum kau mau mengajak gadis sepertiku."
"Maaf ya, tapi aku tak bisa pergi bersamamu. Semoga kau dapat teman yang se-tipe
denganmu untuk datang ke prom."Suara itu lagi-lagi membuatnya seketika terbangun dari tidur singkatnya. Matanya bahkan kini terbuka, menandakan bahwa dia sudah sadar jika dia masih berada di kantor. Oh dia tak sengaja tertidur di meja kerjanya sampai bayangan itu muncul lagi.
Tentu saja, bayangan itu masih sama. Apa lagi, suara seorang perempuan yang terakhir. Suara perempuan yang masih dia ingat sampai saat ini. Bahkan Dia masih ingat bagaimana ekspresi gadis itu, dan bagaimana cara dia berbicara. Tidak, dia tak akan pernah lupa, sampai mati sekali pun.
Dan kebiasaan setelahnya pun masih sama. Setelah mimpi itu muncul, dia pasti akan bangkit dari tempat duduknya dan berdiri menatap kaca besar di ruangannya-menatap pantulan dirinya di sana.
Ya, dia memang sengaja meletakkan kaca di hampir seluruh dinding ruangannya agar dia bisa menatap pantulan dirinya dan bertanya apa penampilannya sudah 'pantas' atau belum. Entah apa yang dia pikirkan, tapi yang jelas dia selalu melakukan itu. Bukan dia ingin terlihat tampan tentu saja, tapi dia merasa harus melakukannya entah kenapa.
Pria itu kini menunduk dan menatap dirinya dengan tatapan nanar. Dia hanya merasa jika dirinya benar-benar lemah. Dan mengingat itu, rasanya di ingin sekali menghancurkan semuanya. Semua orang yang telah menghancurkan hidupnya.
"Apa aku masih terlihat buruk?" Entah pada siapa dia berbicara, tapi dia terlihat putus asa. Dia masih mempertanyakan itu saat penampilannya kini sudah berubah.
Kini dia mengepalkan tangannya kuat sebelum dia menahan emosinya agar tak memukul kaca di depannya. Untungnya, dia juga berhasil menggagalkan hal itu karena seseorang yang lebih dulu mengetuk pintu ruangannya.
Sampai dia menolehkan kepalanya karena mendengar dan melihat sosok perempuan yang meminta izin untuk masuk. Itu Sona, sekretarisnya. Sampai perempuan itu berdiri di hadapannya setelah mendapatkan izin.
Sona tak langsung berbicara, tapi gadis itu terlihat gugup karena bosnya yang terus memandanginya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ini selalu terjadi, dan perempuan itu tetap saja takut.
"Sajang--,"
"Sona." Mendengar namanya disebut pun, perempuan itu kemudian menghentikan ucapannya dan menatap bosnya. Pria itu terdiam beberapa detik sebelum dia mengeluarkan suaranya. "Boleh aku bertanya?"
Hey, dia bisa bertanya apa saja tanpa meminta izin.
"Ya, tentu saja Sajangnim."
"Apa aku terlihat tampan?" Sampai pertanyaan itu, Sona mendadak bingung. Entah kenapa, tapi sungguh, Sona sudah bosan mendengar jal itu karena bosnya yang sudah jutaan kali bertanya tentang itu hampir setiap hari. Apa dia se-ingin itu diakui jika dia tampan?
KAMU SEDANG MEMBACA
[DITERBITKAN] XANNY
FanfictionJimin terobsesi pada gadis itu dari dulu. Meskipun dia membencinya, meskipun dia menganggap Jimin sampah. Tapi obsesi itu kini berubah menjadi dendam. Saat dirinya selalu dipandang rendah, kini keadaan sudah berbalik. Jimin masih ingin menghancurka...