[12] Sahabat Kecil dan Gadis Aneh

2K 204 32
                                    

12|Sahabat Kecil dan Gadis Aneh

💕💕

“Sekolah kita memiliki aturan kuat dan saya rasa Ibu Zura sudah memahaminya.”

Suara itu bernada rendah dan berwibawa. Kepala ini kutundukkan melihat motif batik pada ujung baju kurung. Berseberangan dengan meja ini, Pak Wisnu, kepala yayasan, melanjutkan bicaranya.

“Kita sebagai pendidik, tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak-anak didik. Tetapi juga akhlak yang baik. Oleh karena itu, aturan di sekolah ini sangat ketat menyangkut adab berpakaian, adab menggunakan media sosial, juga sopan santun terhadap manusia yang lain. Semua manusia, baik itu yang umurnya di bawah mereka, sebaya, apalagi kepada yang lebih tua. Kalau akhlak gurunya saja sudah meragukan, bagaimana dengan akhlak anak didik?”

“Menurut Bapak, akhlak saya tidak baik?”

“Maaf, saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya ingin minta tolong kepada Ibu Zura untuk membatasi pergaulan dengan anak-anak di luar sekolah. Saya hanya khawatir mereka akan mengikuti cara Anda.” Penekanan dilakukannya pada ‘cara anda’.

“Masalah aturan mengenakan hijab, saya tidak ingin berkomentar karena itu adalah urusan Anda dengan Tuhan. Tapi sebagai sesama muslim saya mengajak, ada baiknya Ibu Zura menerapkan pakaian seperti yang Anda kenakan sekarang!”

Saat ini aku menggunakan hijab yang terulur panjang berwarna biru. Setiap guru memang diharuskan memakai seragam yang telah disediakan oleh sekolah. Untuk guru wanita, aturannya wajib menggunakan hijab lebar yang hanya menampakkan punggung tangan.

Pembicaraan seperti itu bukanlah yang pertama. Sebelumnya, Pak Wisnu juga telah memperingatiku agar tidak terlalu dekat dengan siswa di luar jam sekolah. Aku menangkap poin utama dari teguran-teguran itu adalah seorang guru wajib pakai kerudung di depan siswanya.

Semua itu tidak berpengaruh sama sekali untukku. Aku hanya ingin menjadi diri sendiri. Tidak mau didikte. Sudah lama telinga ini kutulikan dari suara-suara yang hanya pandai men-judge orang lewat penampilan.

Aku hanya ingin hidup berdasarkan kehendak sendiri. Zura Azzahra adalah manusia merdeka. Aku melakukan sesuatu jika hati menginginkannya. Sesimpel itu. Kebaikan seseorang tidak dipandang dari peci yang dikenakannya, panjang janggutnya, dan dari hijabnya. Banyak wanita berhijab, tetapi tidak menjaga pergaulan. Untuk apa?

Aku tidak ingin menjadi orang munafik yang mengubah penampilan agar dipandang baik oleh masyarakat. Sudah cukup masa lalu mengajarkan itu. Aku akan menutup aurat ini lagi ketika hatilah yang menginginkan.

***

”Ren, jangan diminum dulu! Tunggu Kak Zura datang!”

”Hey, kalian dari tadi?”

Dua remaja di bangku kafe ini langsung berdiri begitu aku menyapa. Reaksi mereka masih sering kaget melihatku tanpa tutup kepala. Tadi buru-buru jadi rambut ini pun hanya aku gelung asal-asalan.

”Ada apa, Reen? Kenapa tadi di telepon menangis?”

Areena dan Nada adalah siswaku tahun lalu. Sekarang mereka sudah kelas sebelas. Dua remaja ini belajar denganku saat kelas sepuluh. Semenjak itulah kami jadi akrab. Namun, mulai keluar untuk ‘nongkrong’ seperti ini baru semenjak mereka naik kelas. Waktu masih kuajar, merekalah yang sering datang ke rumah. Meskipun pada waktu itu sudah banyak teguran dengan alasan takut terjadi kecemburuan sosial, kami tidak pernah menggubrisnya. Aku sih fine-fine saja para siswa datang ke rumah, belajar denganku. Hanya saja dua anak inilah yang paling sering bertandang. Kalau dapat izin dari orang tua, mereka malah senang kuajak tidur di rumah.

Zura Salah Gaul (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang