[08] Pengakuan Cinta

1.9K 184 16
                                    

Terdengar guruh pertanda badai mungkin ‘kan tiba. Hujan pun tengah bersiap berpesta pora. Si pink tadi pagi mogok lagi, terpaksa aku naik angkot dari indekos.

Aku meninggalkan Kampus Selatan dengan berlari-lari kecil. Dari Fakultas Bahasa aku melewati Fakultas Teknik ke arah Gedung Rektorat. Di belakang rektorat kaki ini terayun cepat melewati Gedung Pascasarjana untuk berteduh di Pusat Kegiatan Mahasiswa karena hujan akhirnya turun dengan lebat. Aku mengeluarkan payung yang setiap hari kubawa jika tak naik motor.

Sebuah kecelakaan kecil terjadi tepat di depan gedung PKM. Aku berlari menerobos kerumunan. Seorang mahasiswi duduk menyelonjorkan kakinya sambil meringis. Lalu seorang laki-laki membantunya berdiri untuk didudukkan di boncengan sepeda motor milik perempuan itu.

”Antar ke poliklinik saja, Yo,” kata seseorang. Yo pun mengangguk lalu melajukan motor matic merah itu.

”Hati-hati dong, Dek! Lagi hujan begini semua memang buru-buru, tapi jangan sampai membahayakan orang lain. Lihat kakak tadi sampai keserempet. Kalau gimana-gimana sama kakak itu, kamu harus tanggung jawab! Untung ada Kak Yohan yang mau bantuin.”

Si pengendara yang nyaris menabrak mahasiswi tadi pun meminta maaf kepada semua yang melihatnya. Begitu dia pergi, kerumunan di pengkolan itu pun bubar.

”Hay, Zura kamu di sini?”

Aku menoleh dan mendapati Yuda tersenyum keheranan. Dia mengajak untuk berteduh di sekterariat Ganto. Rupanya yang tadi memberikan nasihat kepada si Adek pengendara motor adalah dia. Aku kurang kenal suaranya, mungkin karena sebagian pikiranku lebih tertarik kepada ekspresi si Adek yang terlihat ketakutan diadili.

”Diminum tehnya, Ra,” kata Yuda saat aku telah berada di sekre. Ruangan itu terasa hangat. Beberapa anggota Ganto menyapaku, yang perempuan menyalami tanganku dan yang laki-laki menangkupkan tangan di depan dada. Semuanya tampak hormat kepada Yuda. Sepertinya Yuda punya posisi penting di sana.

”Tumben loh aku bisa lihat kamu terdampar di daerah sini.”

”Kayak jauh banget sih FBS dengan PKM ini. Ini aku lagi ingin jalan-jalan santai, jadi lewat sini.”

”Kenapa sendirian, Vayola mana?”

”Di kosannya. Kami beda tempat tinggal. Aku mau pulang dan Vayola pasti sudah guling-gulingan di kosannya sendiri. Hhm, makasih tehnya.” Aku menyesap minuman panas itu setelah meniup-niupnya agar lidahku tak terbakar.

”Aku lihat penampilanmu di teater.” Teater yang dimaksud Yuda adalah Gedung Teater Tertutup di lantai satu gedung fakultas bahasa.

”Kalau Zahfiyyan mulai memetik gitarnya dan menyanyi, semua pasti akan terpukau. Ditambah dengan kamu yang dia iringi. Jadi penampilan kalian kemarin ini benar-benar menakjubkan.”

”Enggak segitunya juga ah, Yud. Kamu mujinya berlebihan banget. Itu juga karena sering latihan. Aku susah banget bisanya, untung yang lain sabar menunggu aku sampai bisa.”

”Kamu ini.” Yuda tertawa kecil. ”Semester depan kita PLK. Mau PL di mana, Zura?”

Aku tertawa kecil, meminum lagi sisa tehku. Hangat. ”Rencana sih dekat rumah Nenek aja. Tapi nggak tahu juga sih, lihat arah mata angin dulu.”

”Maksudnya?”

Aku tergelak. ”Kamu mau tahu banget kayaknya. Masalahnya, aku juga belum tahu mau PL di mana.”

”Ah, aku pikir kamu akan bareng dengan Zahfiyyan. Mencari satu sekolah yang sama,” katanya yang tak kusangka-sangka.

”Dapat pikiran dari mana? Ya nggak tahu juga, lihat nanti.”

Zura Salah Gaul (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang