[16] Laki-Laki Penyemai Bunga

2.3K 242 24
                                    

”Maaf saya sedang buru-buru.”

Aku tidak berbohong. Hari ini aku akan ke Padang. Kota paling menyebalkan tempat aku pernah jatuh cinta lalu patah hati sekaligus. Malas sekali sebenarnya untuk datang.

Mau bagaimana lagi, ini acara Kak Liani, anak Ibu Kos. Dulu untuk menyelesaikan skripsi saja, aku sering stay di rumah Nenek. Ke Padang jika sangat perlu saja. Seharusnya aku tidak menghindari kotanya, tapi kenangannya. Kenangan buruk selalu hadir setiap melihat tempat-tempat nostalgia. Jalan raya, teater terbuka—pendopo FBS, pantai, dan ruangan kelas. Hari ini dengan terpaksa aku akan menginjakkan kaki ke sana.

”Aku ikut, ya?”

Gerakanku mengikat tali sepatu terhenti untuk menatap perempuan yang baru saja berbicara. ”Kalau saya bilang tidak bisa?”

”Kak, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku salah. Aku minta maaf. Aku gegabah tidak kompromi dulu sebelum bertindak. Aku menyesal, banget banget banget. Aku nggak akan ulangin hal yang kayak gitu.”

Dia betul-betul bersemangat. Pantang ditolak. Gigih dan tak tahu malu. Tak mempan sindiran apalagi bentakan. Sebenarnya, sudah beberapa hari yang lalu dia mencariku. Setelah abangnya mundur, sekarang adiknya yang tiap hari merecoki hariku.

”Aku udah telanjur sayang ke Kakak. Nggak bisa didiamin kayak gini. Please, ayo bicara sama aku. Sebentar aja. Aku dari dulu ingin punya saudara cewek. Ingin punya tempat bercerita sesama wanita. Yang bisa diajak tidur bareng. Nggak seperti Abang Fiyyan dan Zoffan. Salim aja nggak boleh oleh Papi. Apalagi mau dijadikan teman curhat sambil guling-guling di kamar.”

”Saya juga nggak bisa melakukan itu.”

”Tapi aku ingin. Kak Zura, aku tahu aku ngerti Kakak tidak menyukaiku, tapi aku akan menyukai Kakak sendirian. Kakak boleh marah ke aku dan Mami karena mengambil Papi dari Kakak, tapi Kakak nggak boleh marah ke Papi. Karena Papi, kita jadi saudara. Impianku dari dulu saat melihat Papi sering memandangi album foto lama. Karena Papi sayang sekali pada Kak Zura.”

”Tayara ... saya benar-benar harus pergi.”

”Aku menunggu sampai Kakak pulang. Aku nggak akan ke mana-mana. Kakak boleh pergi dan harus cepat kembali.”

Aku kesal, ingin membenci, mencari pelampiasan. Pertemuanku dengan laki-laki yang kubenci itu direncanakan olehnya. Karena perjumpaan itu, aku melihat pria itu baik-baik saja bahkan bahagia bersama istri barunya.

Aku benci, tapi kenapa harus masih ada sebersit cemburu? Lagi dan lagi aku harus  menyalahkan diri sendiri. Seharusnya aku tidak boleh menyimpan perasaan apa pun lagi termasuk benci. Tidak kepada Heri, apalagi kepada Tayara dan maminya.

Picik sekali jika menyalahkan Tayara sebab dia tidak tahu apa-apa sebelumnya. Bukan Tayara yang salah. Herilah dan juga hati ini yang tak bisa melupakan pria penghancur hatiku yang pertama.

Aku mencari Nenek yang ternyata sedang memotong buncis di dapur. ”Nggak usah masak banyak-banyak. Zura pulangnya mungkin udah sore.”

Aku berbisik, ”Nenek Zura tinggal dengan Tayara, ya. Biarpun dia mengganggu, Zura percaya dia akan menjaga Nenek dengan baik.”

”Dia anak yang baik, seperti abangnya,” kata Nenek tersenyum mengelus pipiku. ”Hati-hati.”

”Baik apanya. Zura pergi, Nek, assalamualaikum.”

”Kakak! Aku di sini sampai Kakak pulang!” teriak gadis yang hanya terpaut dua tahun di bawahku itu.
Kebahagiaan seorang ibu ialah saat melihat anak perempuannya dinikahi lelaki yang dicintainya. Begitu kira-kira yang disampaikan oleh Ibu Kos saat kami menghadiri pesta perkawinan anak temannya.

Zura Salah Gaul (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang