[27] Kabar Selanjutnya

2.5K 252 59
                                    

[27] Kabar Selanjutnya


Sepeda motor merah muda yang dibelikan Mama dihentikan Zoffan di teras rumah Umi. Aku langsung turun dan segera masuk, akan tetapi batal karena ada tamu.

Di pintu kaki ini terpancang mendengarkan kata-kata seseorang kepada Umi, "Benar kata Ni Nar, Uni Runa. Uni salah pilih menantu. Mana ada kakak ipar pai baduo (pergi berdua) dengan adik iparnya. Indak elok dicaliak urang doh (Tidak baik dilihat orang). Apalagi suami tidak di rumah. Dia juga sering tidak menutup auratnya, Uni Runa. Kasihan Zahfiyyan. Suami yang membiarkan istri tidak menutup aurat tidak akan mencium bau surga."

Aku lantas menatap ke belakang. Si adik ipar mukanya sudah merah mendengar kalimat bak kompor berapi biru di dalam sana. Kedua tangannya terlihat kaku. Tinju-tinju tergenggam.

Mereka masih asyik menggibahi istri Zahfiyyan yang berdiri di depan pintu ini.

"Sudah den (aku) sarankan dulu sebaiknya kau ambil anak si Aminah jadi istri Zahfiyyan. Dia gadis saleha. Penampilannya enak dipandang. Pendidikannya jangan ditanya, setara kan dengan Zahfi. Elok budi bahaso. Sopan santun dan kelakuan terjaga. Indak mode (Tidak seperti) cucu Abdul Shahab tu. Kakeknya orang yang disegani di kampung, cucunya tak punya adab takah tu (seperti itu)." Ini pasti suara wanita yang dipanggil Ni Nar oleh orang sebelumnya. Betul-betul terdengar bak kompor meleduk.

Apakah aku akan sakit hati mendengar semua ini?

Biasanya tidak, tetapi sekarang batinku tercubit. Serasa ada yang memilin-milin dengan kuat sebab perempuan yang lebih cocok bersanding dengan Zahfiy menurut mereka adalah Vayola. Untuk kesekian kalinya aku dibandingkan dengan sahabatku sendiri.

Tiba-tiba bahuku ditabrak—diserempet oleh Zoffan. Ia berjalan dengan cepat ke tempat pergibahan. Aku tidak membiarkan Zoffan. Buru-buru aku menarik tangan pemuda itu, menyeretnya sebelum tiba di ajang pergosipan.

"Kak!" teriaknya dengan berbisik.

Gimana sih menjelaskannya? Dia menahan suara yang keluar sehingga urat-urat leher menyembul, tapi vokalnya tetap pelan.

Aku menekan ujung telunjuk ke bibir sendiri sebab ada suara Umi yang mulai mengudara.

"Ah, Ni Nar dan Lati belum kenal baik dengan menantu ambo (saya). Kami tidak salah memilih Zura. Putri Aminah mungkin kelihatan lebih baik, tetapi belum tentu yang terbaik untuk anak kami Fiy."

"Kau hati-hatilah, Runa." Ni Nar masih belum puas menjelekkan cucu Anduang Rafiyah. "Anak keduamu juga harus diingatkan. Mana boleh dia membawa kakak iparnya saat abang tidak di rumah. Lagi pula mereka pergi kan dari rumah, kenapa tidak kau larang?"

Aku menggeleng-geleng. Dasar setan berdaster. Apa gunanya sih pekerjaan mereka ini? Datang ke rumah hanya untuk menjelek-jelekkan anak orang. Apa untungnya untuk mereka sampai menyalahkan Umi segala?

"Wahai emak-emak yang saya muliakan! Terima kasih atas segala saran dan perhatian Uni kepada keluarga kami."

Tali kekang Zoffan terlepas. Anak itu telah berada di ruang tamu. Ia mengulurkan makanan yang kami bungkus pulang untuk Abi dan Umi.

"Ini enak loh. Sumpah!"

Tawaran itu membuat Ni Nar dan Lati terdiam menatap tukang serobot pembicaraan itu.

"Enggak mau diterima? Yah sama!" tegas Zoffan lantang. "Kami juga tidak menerima nasihat Uni berdua, walaupun menurut kalian baik." Zoffan memiringkan sudut bibir. "Kalian sibuk mengurusi menantu orang, tapi anak sendiri dilepaskan pergi dengan jantan. Nanti belumlah tamat sekolah, sudah naik pelaminan. Oh iya, hati-hati juga sampai salah pilih menantu kalau cepat-cepat dinikahkan."

Zura Salah Gaul (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang