[14] Kamu Siapa, Zahfiy?

2.4K 224 33
                                    

Happy Reading.....


“Tolong antarkan kolak ini ke rumah sewa Pak Zainudin, Ra!”

Nenek meletakkan rantang putih di atas meja ruang tamu. Anduang Rafiyah senang sekali memasak ketika badannya terasa ringan. Beliau bikin penganan untuk anak-anak KKN. Sebab Nenek sangat senang tatkala ada orang baru datang ke desa, apalagi muda-mudi yang bersemangat tinggi. Para mahasiswa tersebut pernah bersilaturahmi dari rumah ke rumah termasuk ke rumah ini.

“Sebentar, Nek.”

Sebuah sweter rajutan putih sebagai penutup kaus tipis telah kupasang. Rambut yang panjang kukucir tinggi agar tidak kegerahan. Cuaca sedang terik siang ini, berjalan ke rumah Pak Zainudin bisa-bisa merubah Zura jadi lamang.

“Zura pergi, assalamu’alaikum.”

Aku sengaja tidak menggunakan sepeda motor sebab takut isi rantang nanti tumpah karena penutupnya yang tidak rapat. Kaki ini melewati beberapa rumah warga. Mereka melihatku seperti lihat artis masuk kampung, berdiri di pintu dengan tatapan terpana.

“Assalamualaikum.”

Seorang pemuda yang mengetik sesuatu di laptopnya segera berdiri menjawab salam.

“Ada yang bisa kami bantu, Kak?” tanyanya  mempersilakanku duduk di bangku teras.

Aku tetap berdiri. “Saya ingin memberikan titipan Nenek untuk kalian.”

“Wah, jadi ngerepotin.”

“Tidak apa-apa. Beritahu teman-teman kamu. Kalian bisa memakannya sekarang mumpung masih hangat. Kalau begitu, saya langsung pulang.”

Aku tahu mahasiswa tadi adalah mahasiswa Zahfiyyan. Oleh karena itu, aku tak ingin tinggal lama-lama. Memperkecil kemungkin untuk bertemu. Cukup minggu yang lalu dia membuatku bingung saat bertandang ke rumah. Antara ingin mengusir atau memaksa diri untuk bersikap bagai orang tak kenal.

Kedatangannya yang murni menjenguk Nenek bukanlah hal yang aneh. Aku tahu dia peduli semenjak kulihat terakhir kali saat Nenek pingsan. Kunjungan berikutnya dipastikan memang untuk melihat keadaan Nenek.  Tapi ada satu berita yang cukup mencengangkan dari lawatan tersebut; rumah orang tua Zahfiyyan hanya beberapa kilometer dari sini.

Jalan desa seperti ini banyak pohon pelindung di sisi kiri dan kanan. Bunga-bungaan yang bermekaran menambah keindahan. Aku tetap melangkah ketika mendengar suara mobil berhenti. Disusul suara salam dari orang yang tidak ingin kutemui. Kupacu langkah dan suara kaki yang berjalan cepat membuatku hampir berlari.

“Kenapa kamu berlari, Ra? Ya Allah kamu kenapa, Zura? Zura kamu lupa pakai sandal?”

Pertanyaan lelaki itu datang bertumpang tindih, namun tak ada yang kuhiraukan kecuali  yang terakhir. Melihat ke bawah ternyata aku tidak memakai alas kaki. Pantas dari tadi warga menatapku dengan heran.

Zahfiyyan mengikuti di belakang saat aku kembali berjalan. “Siang ini panas sekali ya, Ra? Kamu tidak pakai payung? Kamu tidak takut kulitmu hitam?”

Kulitku memang hitam, tetapi tidak perlu diingatkan perihal itu.

“Ra?”

“Bisa berhenti berbicara dan mengikuti saya? Kamu pikir kamu di mana? Kamu menjadi tontonan orang-orang!”

“Makanya berhenti dulu! Ada yang ingin aku tanyakan.”

“Tanyakan saja langsung!”

“Kenapa kamu harus lari tadi?”

Aku berlari sampai napas ini sesak saat tiba di rumah dan kaki lecet-lecet tanpa mau menjawab pertanyaan Zahfiyyan.

“Ya Allah, Zura. Kamu dikejar siapa? Mengapa lari-lari?”

Zura Salah Gaul (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang