[28] Pertemuan Dua Mata

2.2K 273 74
                                    

Selamat pagiii ... Selamat membaca.

Dahulu apa sih yang membuatku begitu terpesona pada pria ini? Rajin salat? Kewajiban bagi setiap muslim. Sering jadi muazin? Biasa saja. Cowok lain juga banyak yang pandai azan. Ganteng? Zoffan dan Abi Syofiyyan juga tampan. Lalu kelebihan Zahfiyyan apa?

Mataku buta!

Saat jatuh cinta, semua yang tampak pada diri pria itu sempurna. Tapi lihatlah sekarang, dia hanya makhluk biasa yang banyak cacatnya. Pulang kerja langsung bersih-bersih, ibadah, makan malam, kemudian tidur. Tidak ada istilah cium pipi istri dan belai perutnya sampai istri yang tidur lebih dulu.

Lagian dosen apa sih yang pulangnya sampai jam sembilan malam? Walau pulang cepat, dia banyak diam sambil membaca buku. Tidak ada inisiatif untuk mendekat ke istrinya.

”Lampu ruang tamu mati, Bang. Aku nggak bisa kerja.” Dia tidur seperti mayat hidup. Padahal, belum setengah jam dia menelungkup di atas ranjang.

Ya Tuhan, kenapa dahulu aku tidak pernah menemukan kekurangan ini? Jika diteruskan berdiri di dekatnya, aku akan semakin emosi. Lebih baik menjauh bersama kertas-kertas ulangan yang harus selesai malam ini juga.

Biasanya aku mengoreksi di ruang tamu yang bermeja rendah. Kali ini aku tidak bisa melakukannya di sana. Sudah tiga hari lampu di ruang itu mati. Zahfiyyan dimintai tolong beralasan nanti dan nanti. Aku terpaksa menumpang di kamar Mama yang memiliki meja kecil serta karpet hangat.

”Bang Andy pernah bikin kesal, Vik?”

Aku tidak tahan menyimpan sendiri. Mungkin Avika bisa mendengar keluhanku. Di antara kami berempat, dia yang juga sudah menikah.

”Ada apa lagi dengan Zahfiyyan?”

Suara Avika terdengar lemah. Barangkali aku membangunkan tidurnya. Saat melihat jam pada ponsel, aku sedikit merasa bersalah. Sekarang sudah hampir jam dua belas malam.

Aku selalu mengadu kepada Avika. Dia lebih dulu menikah. Mereka juga tidak pacaran, tetapi dijodohkan. Kira-kira seperti aku sedikit.

”Aku minta tolong benerin lampu. Apa salahnya sih cuman masang doang? Kalo aku sampai pun pasti aku kerjakan sendiri.”

”Karena lampu?”

”Dia kurang perhatian.”

Itulah kesimpulannya. Coba kalau dia memang sayang, tanpa harus diminta pasti akan melakukan apa pun untuk istrinya.

Kutunggu tanggapan Avika selama beberapa saat. Apa dia mematikan telepon? ”Kamu masih di sana, Vika?”

”Maaf. Barusan dedeknya nendang. Usapan Bang Andy bikin aku mejam  ... ngantuk.”

”Ah ya udah, istirahatlah. Aku harus mulai koreksi sebelum mengantuk.”

Ya Allah. Apa benar kami berjodoh?  Sudah lama aku menanyakan hal ini pada diri sendiri. Masalah demi masalah yang terjadi dalam perjalanan rumah tangga kami, tidak pernah terselesaikan. Aku selalu mengalah. Kunci untuk menjauhkan resah adalah dengan ikhlas. Coba melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hati.

Contoh, pertemuan Zahfiyyan dengan Akhi Fakri pamannya Eya. Berhari-hari aku kepikiran sehingga terbawa ke alam mimpi. Semua itu adalah buntut dari postingan Ale di Instagram. Dia menambahkan caption pada foto lainnya, yaitu antara Zahfiyyan dan Eya.

Jodoh dari Kampus Selatan.

Zahfiyyan tidak menjelaskan apa pun tentang unggahan Ale. Gimana aku tidak dongkol melihat Zahfiyyan tenang-tenang saja dengan kesalahpahaman temannya? Kenapa dia tidak memberi tahu Ale bahwa yang dia nikahi itu aku? Semalu itukah dia menjadi suamiku? Aku terpaksa melupakan semua rasa kesal itu. Memendamnya pun tidak ada gunanya. Hanya akan membuatku sakit sendirian.

Zura Salah Gaul (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang