[31] Selamat Tinggal, Suamiku
Sewaktu kelas satu SMA, aku membaca sebuah novel spiritual. Kisahnya antara santri dan santriwati di sebuah pondok pesantren. Namanya Rusli. Dia bisa menembus dinding. Ia menyelinap ke pondok putri dengan ilmu batin. Hebat 'kan? Aku enggak percaya sih bagian ini. Jadi, abaikan hal-hal mistiknya. Fokus saja ke kisah cintanya.
Kunjungan pertama Rusli disuguhkan tartil Qur'an yang sangat merdu dari seorang santriwati saat semua teman-teman si perempuan tidur nyenyak. Mudah sekali Rusli jatuh cinta kepada Sukma. Setiap malam ia melakukan kunjungan demi mendengar suara Sukma membaca kalam Ilahi.
Betapa romantis kisah mereka. Cara kerja cinta kepada Rusli sama dengan yang aku alami. Aku juga mulai suka sama Zahfiyyan setelah lihat dia main drama. Saat Zahfiy bernyanyi dengan gitar. Namun, kisah cinta mereka pupus ketika Rusli menikah dengan putri kiyai tempatnya mengabdi karena sang kiyai menitahkan.
Bagian ini yang bikin aku emosi banget. Kenapa sih para orang tua perempuan tega memaksa laki-laki untuk jadi pendamping putrinya? Padahal Rusli sangat mencintai Sukma. Demi Allah, aku pengin merobek-robek buku, lalu ingat itu kubeli dengan sisihan uang jajan.
Bukankah banyak sekali kemiripannya denganku? Coba kalau dulu aku enggak membaca kisah itu. Akankah rumah tanggaku tidak diselinapi Eya? Eya Eya Eya. Tiga huruf itu tajam sekali bagai silet yang bisa membuat hatiku berdarah-darah.
Sukma hancur begitu tahu Rusli akan menikahi anak guru. Sementara, perasaan Sukma kepada Rusli sudah tertancap sangat dalam. Begitupun aku waktu mendengar Zahfiyyan akan menikahi Eya setelah lulus kuliah. Qadarullah, takdir mempertemukan kami lagi. Saat Zahfiyyan batal menikah. Dan akhirnya, aku yang jadi istri si Cowok Masjid idaman.
"Zura. Maaf, Sayang. Sepertinya aku harus melakukan ini. Tidak, bukan sepertinya. Aku harus menikahi Eya. Aku mohon, kamu sabar. Terima keputusan ini ya, Ra. Tolong percaya sama aku. Aku hanya mencintai kamu."
Sepulang dari pertemuan itu, Zahfiyyan jadi lebih diam dari patung. Mukanya tak lagi bersinar. Wajah Zahfiy biasanya berseri. Aku tahu gimana perbedaannya. Gerakannya jadi lamban seperti budak kerja yang enggak dikasih makan. Pikirannya melayang ke mana-mana. Waktu aku suruh makan, dia malah buka baju dan pergi ke kamar mandi. Saat aku bilang anak kami sepertinya sehat deh di dalam sana, dia justru mengajak aku ... ya gitu.
Suatu pagi, Zahfiy enggak mengizinkan aku berangkat sekolah. Dari malamnya dia emang nempel terus seperti lem lalat. Dia itu bukan suami yang menunjukkan kemesraan di luar kamar pribadi kami. Dia tidak mencium istri di ruang tamu, apalagi dapur seperti kisah romance yang sering aku baca. Beda dengan pagi itu. Yah siapa sangka, rupanya Zahfiy ingin membuat istrinya menangis pada siang pukul dua. Begitu aku cium punggung tangannya sehabis salat, dia langsung mengatakan kalimat seperti yang kudengar di mimpi.
"Izinkan aku menikahi Eya."
Suasananya berbeda. Kalau dalam mimpi dia menatapku tanpa perasaan, pada kenyataannya dia menangis. Dia menunduk di atas pahaku. Genggam tanganku begitu erat. Waktu aku bertanya, kenapa dia sampai memutuskan hal itu? Dia hanya memelukku. Erat seolah tidak ingin aku lepas darinya.
Zahfiy pasti sangat berat mengiakan permintaan paman Eya. Jika ia sampai pada keputusan ini, suamiku pasti telah memikirkan masak-masak.
"Laki kurang ajar!" Voni sangat murka waktu aku mengabarkan rencana Zahfiy. "Percuma aja dia sujud siang malam kalau nalurinya udah mati. Sampai tega gini dia menduakan kamu. Laki-laki seperti itu enggak bisa dimaafkan, Ra. Kalau dia tetap ingin menikah lagi, cerai aja! Dia pasti menyesal kalau sampai kamu tinggalin. Aduh! Aku ingin nonjok deh tu mukanya yang alim menyesatkan! Mending Anel ke mana-mana. Dia mendua saat kami pacaran. Pas udah nikah, dia setia. Enggak kayak Zahfiyyan yang kamu puji sebagai cowok masjid! Orang masjid apaan yang kayak dia? Mati! Geraah banget nih, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zura Salah Gaul (Complete)
Spiritual𝚉𝚞𝚛𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊𝚒 𝚉𝚊𝚑𝚏𝚒𝚢𝚢𝚊𝚗, 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚒𝚝𝚞 𝚑𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗𝚐𝚐𝚊𝚙 𝚉𝚞𝚛𝚊 𝚜𝚎𝚋𝚊𝚐𝚊𝚒 𝚝𝚎𝚖𝚊𝚗. 𝙿𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚙𝚞𝚗 𝚉𝚞𝚛𝚊 𝚌𝚘𝚋𝚊 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚋𝚞𝚊𝚗𝚐. 𝚂𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐𝚗𝚢𝚊, 𝚒𝚊 𝚋�...