Hari Keempat-Part 2

9.6K 411 13
                                    

Langkah ini berjalan menyusuri pasar untuk mencari kebutuhan hidup yang sudah mulai menipis, sekaligus mencari beberapa perkakas untuk membersihkan rumah. Setelah sekitar tiga puluh menit menghabiskan waktu, seluruh kebutuhan sudah ada di tangan. Agar tidak terlalu kesorean, lebih baik segera pulang.

"Permisi mas, njenengan kan ?" ujar seorang laki-laki yang tiba-tiba saya menghalangi langkahku di depan pintu pagar rumah.

Setelah meletakan barang bawaan di tanah, aku mencoba menanyakan siapa laki-laki paruh baya ini. Dan kenapa dia menghalangi langkahku, samar-samar sih aku mengenali wajahnya. Namun tidak tahu kenapa, mulut ini susah untuk mengucapkan namanya.

"Saya Pak Joni, tetangga sebelah njenengan" ujar laki-laki yang kali ini langsung aku kenali. Aku sampai lupa, kalau ada beberapa tetangga yang belum dijumpai.

"Lho iya Pak Joni, waduh maaf banget nih pak. Kemarin belum sempat datang ke rumah-rumah tetangga".

"Iya tidak masalah kok mas, saya tuh sebenernya mau mengajak njenengan ke rumah saya sebentar. Ada yang ingin dibicarakan".

"Boleh pak, tapi nanti bakda Isya ya pak, soalnya saya mau bersih-bersih rumah sebentar".

"Iya mas ndak papa, nanti saya tunggu kedatangannya di gubuk saya".

Membersihkan rumah sebesar ini dan hanya diberi waktu selama empat jam, itu pun belum dikurangi untuk masak dan membersihkan diri. Haduh, bodohnya diriku membuat janji yang malah menyiksa tubuh sendiri.

Saat bersih-bersih rumah, aku baru sadar kalau bercak-bercak darah yang sebelumnya menghiasi tembok rumah sudah pada menghilang. Tidak perlu dikomando, bulu kudukku kembali berdiri. Butiran keringan sudah membasahi seluruh badan, belum juga rasa takut ini hilang. Sebuah suara nyaring terdengar dari dapur , "Piiiaaaarrrr", lagi-lagi tubuh ini dibuat tergoncang dengan hebatnya.

Bersih-bersih rumah kali ini aku sudahi, badan sudah tidak dapat dikondisikan. Seluruh kejuttan sepertinya memberikan tanda kalau rumah ini tidak mau untuk dibersihkan. Entahlah namun itu yang aku rasakan.

Setelah beristirahat sejenak, aku menuju ke dapur berniat untuk membersihkan bekas pecahan agar tidak tambah berserakan. Dan lagi-lagi, sebuah sambuttan kepadaku yang belum satu pekan di rumah ini. Tidak ada satupun bekas pecahan didalam dapur, aku hanya bisa mengusap-usap wajahku dan tidak tahu mau melakukan apalagi.

Rasanya ingin sekali tidur dan beristirahat, tetapi janji dengan Pak Joni tidak mungkin aku ingkari. Apalagi firasatku mengatakan kalau Pak Joni memiliki informasi lebih tentang kematian bapak, ibu dan Mbak Lestari.

Setelah mencoba menenangkan diri dengan solat, setelah solat isya aku sengaja langsung mampir ke Pak Joni. Suana rumah itu sedikit membuat jantung berdetak lebih kencang, setelah menekan tombol bel di pintu pagar. Beberapa menit kemudian Pak Joni keluar dengan tergesa-gesa.

"Silahkan mas, maaf lho. Agak lama tadi saya membukakan pintunya" ujar Pak Joni sembari menutup kembali pintu pagar.

Mataku mencoba mengawasi setiap sisi rumah Pak Joni, memang terasa rumah ini seperti sudah lama tidak dihuni oleh seseorang. Padahal, disini ada sosok Pak Joni dan keluarganya, entahlah. Biarkan waktu saja yang menjawab rasa penasaranku.

Setelah dipersilahkan duduk, Pak Joni kemudian meninggalkanku lagi di ruang tamu untuk menuju ke dapur. Seperti budaya yang mengakar di orang Jawa, tidak akan lengkap kalau bertamu tidak disuguhi minuman seperti teh atau kopi.

Sekitar lima menit, Pak Joni kembali dengan membawa dua gelas teh diatas nampan. Setelah meletakan gelas-gelas di meja, aku dipersilahkan untuk meminum teh yang sudah disajikan itu.

Sambil meneguk teh hangat yang rasanya sangat pas dilidah, mataku memandang setiap sudut rumah Pak Joni. Ada yang aneh memang di rumah ini, terutama keberadaan istri dan dua orang anak dari Pak Joni.

"Ada apa mas ? " ujar Pak Joni yang ternyata sedaritadi mengamatti gerak-gerik mataku. Sedikit kaget, aku meletakan kembali gelas ke tempat semula.

"Dimana Bu Joni dan dua putri bapak ?".

"Itulah yang ingin bapak ceritakan ke Mas Burhan".

Ternyata, istri dan kedua anak Pak Joni meninggal tidak lama setelah keluargaku ditemukan tewas dua tahun yang lalu. Istri Pak Joni mengaku sering sekali dihantui keluargaku, hingga akhirnya stress dan memutuskan untuk bunuh diri. Tidak hanya itu, kedua anak Pak Joni juga ikut diberikan racun sehingga mereka bertiga meninggal hampir bersamaan.

Inilah alasan kenapa rumah milik Pak Joni terlihat begitu sepi dan kumuh, namun mulut ini seakan tidak mampu untuk berkata apa-apa. Tidak tega rasanya melihat Pak Joni yang meneteskan air mata, aku tahu benar bagaimana rasanya kehilangan keluarga.

"Mas, tolong temukan siapa pelaku pembunuhan itu, saya mohon" ujar Pak Joni yang hanya aku balas dengan anggukan saja. Tidak perlu diminta pun aku inginnya juga mengetahui siapa pembunuh itu, tapi tentu ini bukan hal yang mudah.

Aku memutuskan untuk kembali ke rumah, meskipun sudah mengetahui alasan kenapa rumah Pak Joni terlihat kumuh dan berantakan. Namun aku masih memiliki kecurigaan dirumah itu, entahlah biarkan waktu akan membantuku.

Setibanya di rumah, aku menuju ke dapur untuk meminum segelas air putih sebelum tidur. Baru saja satu tegukan air masuk ke tenggorokan, suara lantunan lagu jawa terdengar dibelakangku.

"La—le-lo—le-lo—le—dung, anakku wes tambah gedhe" nyanyian itu benar-benar terdengar jelas bersumber dari kursi goyang dibelakangku. Tubuh ini benar-benar terasa kaku, ingin rasanya berbalik badan tetapi seperti tidak kuat.

Sedikit demi sedikit aku memaksakan untuk berbalik badan, dan benar saja. Aku melihat kursi itu bergoyang-goyang, semakin membalikkan badan. Aku melihat ada secarik surat diatas kursi tersebut.

Keringat sudah membasahi seluruh badan, jantung pun berdetak lumayan cepat. Aku memberanikan diri untuk mengambil surat itu, dan tertulis disana sebuah kata-kata "Aku akan selalu menyayangimu".

(Misteri) Rumah Peninggalan BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang