HARI KESEPULUH - PART II

7.6K 303 8
                                    

Pak Agus mulai menuntunku memasuki makam, rasanya benar-benar tidak kuat harus menyapa lagi mereka yang sudah tenang disana. Namun, rasa bersalah karena tidak ada disamping mereka saat musibah itu terjadi membuatku kembali kuat.

Langkah kami semakin dalam menyusuri makam, perjanjian awal adalah menengok dan mendoakan makam dari Keluarga Pak Joni yang kemudian dilanjutkan dengan ke makam Bapak, Ibu serta Mbak Lestari.

Tiba-tiba langkah Pak Agus terhenti, dan memberitahukan bahwa didepan itulah makam keluarga dari Pak Joni. Tanpa perintah, aku mendekat ke makam yang sampai saat ini masih belum percaya kalau Pak Joni sudah tiada.

Dan benar saja, tubuhku menjadi sangat lemas setelah batu nisan dihadapanku tertulis nama Joni bin Abdi, Pak Agus yang mengetahui tubuh ini bakal ambruk pun segera mencegahnya dengan menahan dari belakang dan kemudian diajak untuk duduk.

Aku melihat kesedihan yang luar biasa dari wajah Pak Agus, tidak tega rasanya untuk mengajak dia ke makam keluargaku. Secara diam-diam aku meninggalkannya.

Ya Tuhan, rasanya masih belum percaya kalau ketiga tubuh orang yang ku sayang kini sudah terbaring kaku dibawah batu nisan ini. Dan meskipun sudah dua tahun berlalu, motif serta pelaku pembunuh pun belum bisa terungkap.

"Aku berjanji pak, pasti pelakunya akan segera ku ungkap" ujarku dalam batin didepan makam bapak. Air mata rasanya sudah tidak bisa lagi terbendung.

Setelah mendoakan kehidupan abadi, aku kembali ke tempat pemakaman Keluarga Pak Joni yang letaknya tidak terlalu jauh dari makam bapak, ibu dan Mbak Lestari.

Pak Agus nampak masih tetap kusyuk mendoakan saudaranya tersebut. Mau tidak mau, aku kembali duduk disampingnya, tiba-tiba angin bersayup-sayuppan di dekat kami. Tubuh Pak Agus yang sebelumnya diam mulai menunjukan reaksi.

Dan....tiba-tiba dia lari begitu saja, meninggalkanku dengan wajah kebingungan dan karena angin semakin membuat bulu kuduk berdiri. Aku juga mengikutti langkah seribu Pak Agus.

"Dasar Pak Tua, orang lagi kusyuk doa. Kena angin langsung lari gitu aja" ujarku dalam batin sambil terus mengejar Pak Agus yang sudah seperti Babi Hutan aja larinya.

Sampai diluar makam, aku melihat sosok Pak Agus yang sedang bersandar di salah satu tembok warga yang rumahnya berhimpittan dengan makam. Ternyata masih ingat kalau ada aku disini juga toh dia.

"Maaf mas, tadi kula wedi banget soalnya" ujarnya sambil terus mengatur nafas.

"Takut sih takut pak, Cuma kok ya pas kusyuk masih bisa takut" balasku dengan wajah sebal kepadanya.

Respon Pak Agus hanya tertawa tanpa dosa, kami pun memutuskan untuk berpisah di tepi jalan. Aku harus segera pergi ke kantor, sementara Pak Agus juga harus segera merawat kebunnya.

Karena hanya setengah hari saja, jadi kerja seakan cepat selesai saja. Namun, sosok cerewet tetapi begitu sayang denganku sudah aku bayangkan akan mencecarku dengan berbagai pertanyaan.

Dan benar saja, baru saja tubuh ini menginjakan kaki di halaman rumah setelah bekerja. Ponsel berdering dengan nama dilayar tertera Kirana. Mau tidak mau aku harus mengangkatnya.

"Halo Han, ini sudah malam ya. Jadi janjimu aku tunggu" ujar Kirana langsung to the point.

"Iya sebentar, ini saja aku baru sampai rumah. Nanti mau beres-beres badan dulu, mandi juga. Kalau sudah semua, nanti aku telpon balik" balasku menenangkan dia.

"Yaudah, aku tunggu".

Sepertinya tidak perlu aku mendetail apa yang aku dan dan Kirana bicarakan semalaman, sudah seperti tersangka pembunuhan yang diintrogasi oleh penyidik saja. Banyak sekali pertanyaan, dan gilanya detail.

Karena badan yang benar-benar lelah, aku sampai ketiduran padahal Kirana saat itu sedang bercerita tentang rencananya untuk menyusulku di Solo. Maafkan aku Ran, bukan maksud meninggalkanmu, tapi memang rasa mengantuk berat.

(Misteri) Rumah Peninggalan BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang