Hari Keduabelas - Part I

7.2K 309 9
                                    

Semalaman mata ini susah untuk terpejam, kata-kata dari Pak Abdul masih terus membuatku tidak percaya. Bapak menggunakan pesugihan untuk usahanya selama ini,tapi kenapa sampai ibu tidak melarangnya ?.

Ada satu orang yang mungkin bakal menenangkan pikiranku yang kemana-mana ini, segera ku ambil ponsel yang tergeletak di meja belajar. Nama Kirana tertera disana, perempuan yang saat ini selalu menjadi primadona.

"Hallo kenapa Han" jawab Kirana dari seberang jaringan dengan nada yang begitu datar, mungkin dia masih marah ?.

"Aku tidak peduli kamu mau memaafkan aku atau tidak Ran, toh kemarin aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya" balasku dengan nada yang tidak kalah datarnya.

"Oooh" balasan Kirana ternyata lebih menusuk.

Karena kesal, aku segera mematikan sambungan telepon dan mulai mengetikan sebuah pesan kepadanya. Dengan maksud melihat seberapa peduli, Kirana kepadaku.

"Aku sebenarnya ingin bercerita kepadamu soal apa yang ku dapatkan kemarin, dan hari ini aku berencana untuk pergi ke hutan untuk melihat lokasi tersebut, namun sepertinya kamu sedang tidak bisa diganggu" tulisku dalam pesan singkat kepada Kirana.

Tidak perlu waktu yang lama, dering ponsel pun berbunyi dan tertera nama Kirana di layar ponsel jadulku. Aku mengerti, Kirana tidak mungkin rela membiarkan aku pergi ke tempat yang berbahaya.

"Hallo Han, kamu beneran mau ke hutan ? buat apa coba ?" ujar Kirana yang terlihat begitu panik.

"Disanalah misteri ini sedikit demi sedikit bisa terungkap Ran, makannya aku ingin kesana untuk membuktikannya. Kamu doakan saja aku selamat dan setelah itu aku akan melamarmu" ujarku kepada Kirana yang pasti membuat dia shok.

"Melamarrrr ? tapi kan aku belum memaafkanmu, enak aja" balas Kirana yang benar-benar kaget.

"Maaf ? toh tadi waktu aku kirim pesan, kamu langsung panik bukan ? itu tandanya kamu masih sayang dan peduli sama aku" ujarku dengan nada sombong.

"Kamu tidak pernah berubah, selalu bisa membuat aku untuk peduli" ujarnya dari sambungan yang jauh. Aku rindu ?.

"Karena aku adalah kekasihmu, yaudah habis ini aku mau ke temen bapak dulu. Nanti aku kabari lagi" ujarku sambil memutuskan sambungan telpon.

****

Hari ini, sengaja aku memesan ojek online mobil bukan motor. Sekalian menjemput Pak Abdul nanti dirumahnya. Baru memasuki gang depan rumah Pak Abdul, firasatku tidak enak setelah adanya bendera merah didepan gang.

"Siapa yang meninggal ya ?" gumamku bertanya-tanya, ah mungkin tetangganya Pak Abdul.

Semakin mendekat ke rumah Pak Abdul, semakin ramai juga orang-orang dengan baju koko dan peci. Firasat buruk semakin aku rasakan, pikiran jahat juga sudah mulai menggelayut.

Dan...sebuah penampakan yang tidak pernah aku inginkan pun benar-benar terjadi, sebuah tenda tepat berada didepan Rumah Pak Abdul, mobil pun di rem oleh driver karena sudah tidak bisa jalan lagi.

"Mas, lokasinya disini ya ?" tanya driver yang sesekali memperhatikan maps yang ada di ponselnya.

"Iya mas, tunggu dulu nggih" balasku yang langsung membuka pintu mobil, tanpa arahan kaki langsung melangkah menuju Rumah Pak Abdul.

Ada salah satu bapak-bapak yang sepertinya ditugaskan untuk menerima kedatangan pelayat, dengan penampilan yang tidak mecerminkan orang yang ingin layat. Aku pun dihampiri oleh si bapak.

"Nyuwun sewu mas, mau kemana nggih ?" tanya si bapak dengan nada yang halus.

"Kula mau bertemu Pak Abdul, ini siapa yang meninggal nggih ?" tanyaku balik dengan masih bingung.

"Monggo silahkan masuk mas" jawab bapak-bapak yang sampai detik ini belum aku ketahui namanya. Segeralah ku ajak kaki untuk melangkah perlahan memasuki Rumah Pak Abdul, sosok perempuan yang ku kenal tengah duduk menangis tersedu-sedu didepan seorang mayit yang ditutupi kain batik.

"Mbak,.." ujarku lirih kepada perempuan itu, Suswati.

"Mas Burhan, bapaaaak mas...bapakkkk" ujarnya penuh histeris sambil memeluk tubuhku yang saat ini dalam kondisi sama rata dengan Suswati.

"Ada apa dengan Pak Abdul ?" tanyaku yang mulai menyadari kalau soso mayit didepanku adalah Pak Abdul.

Aku tidak memaksa Suswati menjawab pertanyaanku, dan membiarkan tubuhnya memeluk tubuh ini. Mungkin saat ini, hanya pelukan peduli yang dibutuhkan oleh Suswati. Cukup lama dia memuluk, hingga akhirnya tubuhnya melemas dan terjatuh.

Dengan sigap, tanganku menjaga tubuhnya yang akan jatuh ke belakang. Beberapa perempuan lain datang mendekat, dan mulai meraih tubuh Suswati untuk dibopong ke kamar yang untungnya tidak jauh.

Dengan ijin dari beberapa orang yang ada disekitar mayit, aku mencoba memastikan apakah tubuh kaku didepanku ini adalah Pak Abdul. Kusingkap sedikit kain yang menutupi wajah, terlihat disana wajah sayu yang sempat aku ajak bicara kemarin.

***

Hari ini, semua rencana berubah. Tidak ada lagi sosok Pak Abdul, dia telah kembali kepada Sang Pencipta untuk selamanya, Suswati pun masih shok berat, tidak berani rasanya bertanya macam-macam tentang kematian bapaknya yang tiba-tiba ini.

Setelah prosesi pemakaman selesai, aku tidak langsung kembali ke rumah, mencoba menenangkan pikiran yang kacau dan seakan tidak percaya.

***

Temen-temen bisa bisa mendukung saya dan cerita saya melalui :

https://trakteer.id/bimo-kuskus

(Misteri) Rumah Peninggalan BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang