Hari Keempatbelas

7K 262 11
                                    

Alarm di kamar membangunkanku, teman yang setia dan patuh. Dari luar jendela kamar, rumah mewah Pak Joni terlihat begitu kotor, beberapa sisi bahkan sudah dihiasi dengan tanaman liar.

Pandangan yang sebelumnya tenang menjadi panik, setelah dari posisi kamar terlihat sosok perempuan memandangiku dengan tajam. Korden jendela kamar segera aku singkap kembali, berharap mencari keamanan hidup sesaat.

Beruntunglah hari ini kantor meliburkan karyawannnya, aku bisa menikmati suasana pagi hari dengan secangkir kopi. Suasana begitu nyaman, suara nyanyian burung-burung saling bersahutan menjadi permata-permata pagi.

Serutupan kopi pertama menjadi salah satu kenikmatan tersendiri, mata terpejam menikmati rasa yang ada dalam secangkir gelas. Namun,. Ketika mata ini membuka, sosok bayangan hitam sekelabat lewat begitu saja.

"Siapa itu ?".

Tidak ada satupun respon, suasana pagi kembali tidak tenang. Secangkir kopi di depanku tidak bisa membuat ketenangan jiwa yang benar-benar ingin ku rasakan.

"Greeet...Gretttt" sauara seperti pisau yang digesekan di kaca terdengar dari arah dapur. Benar-benar membuat bulu kudukku berdiri begitu cepat, aku mencoba acuh.

Namun suara itu terus saja terdengar, seperti ingin memanggilku dan memberitahuku sesuatu. Sambil bergetar, aku mencoba pergi ke dapur. Melihat apa yang sebetulnya terjadi, tubuh ini benar-benar lemas.

Semakin mendekat, maka semakin membuat rasa takut semakin tinggi. Aku mencoba membuka mata sedikit demi sedikit ke salah satu jendela kaca yang berada di dapur, kosong ?.

Tidak ada sosok apapun disana, namun ada sebuah pesan yang tergambar dari goresan pisau. Kaki kembali bergetar hebat, namun rasa penasaran membawaku memaksa untuk tetap mendekat.

"Pergi atau mati".

Apakah ini sebuah ancaman atau peringatan ? meskipun suasana dingin, namun tubuhku tetap mengeluarkan keringat. Rasa cemas dicampur dengan ketakuttan, aku segera bergegas mencari ponsel dan mencoba menghubungi Kirana untuk mengurungkan niatnya.

"Ding—ding—ding—ding" suara deri ponsel terdengar.

"Kirana".

"Hallo Han, selamat pagi".

"Hallo Ran, selamat pagi".

"Aku punya kejuttan buat kamu, coba tebak ?".

"Apa ? aku menyerah".

"Kamu selalu payah untuk sebuah kuiz, aku sudah sampai di Solo Han".

"Whaaaaatttt ?????"

"Nah kan kaget kamu".

"Kamu ada dimana ?".

"Ini ada di Stasiun".

"Tunggu disana, jangan kemana-mana".

Ponsel segera ku lemparkan ke sofa, suara Kirana samar-samar masih tedengar. Namun aku sudah tidak fokus kesana, harus segera bergegas.

***

Suasana pagi Solo benar-benar begitu sesak, pegawai-pegawai yang masih dapat jatah bekerja di Hari Sabtu memenuhi jalan, untung saja saat ini sudah ada aturan anak-anak SMA sederajat sekolah hanya sampai Hari Jumat.

"Mas, rada cepat sedikit" ujarku kepada pengemudi ojek online.

"Oke mas laksanakan".

Kecepatan motor yang sebelumnya pelan, kini berjalan dengan cepat. Menyalip beberapa kendaraan didepannya. Benar-benar berbakat menjadi seorang pembalap kelas dunia, mas ojol ini.

"Ini mas ongkosnya, terima kasih ya".

***

"Halo Ran, kamu dimana ?".

"Aku ada didekat Warung depan Stasiun Han, cepet kesini".

"Iya, tunggu sebentar".

Sosok perempuan dan teman sebanyanya terlihat dengan dua koper besar, aku yakin itulah mereka. Apalagi sosok Kirana, tidak mungkin bakal lupa. Perempuan berambut panjang, yang sudah menembus dinding hati ini.

"Wih, sudah dateng tuh Burhan" celetuk Kirana kepada temannya.

"Kan sudah ku bilang nunggu di dalam saja".

"Kami lapar Han, makan dulu yuk..".

Sebuah ajakan yang tidak mungkin bisa ku tolak, apalagi di rumah juga tidak bisa menghidangkan apapun untuk mereka.

"Oh ya, Han. Kenalin ini Sukma, dan Sukma Ini Burhan" Ujar Kirana setelah kami mendapatkan tempat duduk.

Tidak ada obrolan berarti dengan Sukma, mengingat Kirana adalah tipikal perempuan pencemburu. Tangan Kirana terangkat keatas mengisyarakat memanggil pemilik warung, untuk datang.

"Iya Neng, mau pesan apa ?".

"Pak, saya boleh minta daftar menu ?".

"Silahkan" tangan si bapak dengan tanggap mengambil daftar menu yang terletak di meja samping.

Butuh lima belas menit untuk aku, Kirana dan Sukma memilih menu yang ada. Pedagang pun sudah kembali ke tempatnya semula, mau tidak mau, aku yang harus mendatangi si bapak. Menyampaikan menu-menu yang dipilih.

"Gimana dengan penyelidikanmu ? sudah ada hal yang kamu temui".

"Ada, hanya saja. Setiap orang yang mengetahui sesuatu dari rumah itu, kalau tidak meninggal tiba-tiba, dia jadi gila dan masalah hidup menimpanya".

"Sebegitu mengerikannya kah ?".

"Aku tidak tahu, ada hubungannya atau tidak".

Obrolan kami berhenti, setelah menu yang dipesan telah selesai dibuatkan. Dengan cepat, tangan Kirana dan Sukma langsung memburu makanan yang ada didepannya. Melihat itu, aku kasian dengan mereka, mungkin saja sudah begitu lapar tadi selama perjalanan.

***

"Kalian mau kemana ?" tanyaku kepada Kirana dan Sukma, jujur saja aku bukanlah pemandu yang baik. Namun setidaknya selama hampir dua pekan. Aku sudah lumayan paham jalanan di Kota Solo.

"Kemana Ma ? mau langsung pulang atau jalan-jalan dulu ?".

"Jalan-jalan dulu aja Ran, udah jauh-jauh masak langsung pulang".

Pada hari itu, kami memutuskan untuk menikmati Kota Solo seharian. Kirana selalu bisa membuat keceriaan, dengan siapapun. Sejenak, aku bisa melupakan permasalahan yang aku alami selama di Kota Solo.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(Misteri) Rumah Peninggalan BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang