BAB 7: Sepi

13 6 0
                                    

BAGIAN TUJUH

"Bolehkah aku merasa kehilangan, dan aku rindu akan kehadiranmu"

***

DENGAN semangatnya aku berjalan menuju halte bus sekolah untuk datang lebih pagi ke sana. Entah apa juga yang ingin aku lakukan di sekolah sepagi ini, layaknya orang gila saja datang ke sekolah dan masuk ke kelas dengan keadaan kosong.

Sambil aku menunggu teman-temanku, aku pun memutuskan untuk mendengarkan musik menggunakan earphoneku dan menyambungkannya dengan iPod, sampai terlarut dalam alunan nada itu, setenggelam itukah? Mungkin juga. Aku tidak terlalu bisa mendeskripsikannya.

Kelas mulai ramai, satu persatu teman kelasku datang. Hani dan Shane juga, mereka sudah datang sedari tadi dan sedang mengerjakan pr Matematika yang diberikan oleh bu Atik, aku masih mendengarkan lagu menggunakan earphone. Pr ku sudah kubuat kemarin malam, hanya kemarin aku memiliki mood untuk mengerjakan prku.

Sudah muali jam pelajaran, ku tak melihat Samudera. Dan benar dia tidak bersekolah, ada perasaan sepi yang melanda diriku. Seolah bertanya-tanya kemana perginya dia.

"Samudera pergi, ada urusan keluarganya," ucap Hani tanpa aku memberikan pertanyaan kepadanya.
"Kemana?" tanyaku padanya.
"Aku tidak tahu, yang kutahu itu," penjelasan Hani sambil bermain game disaat guru menerangkan materinya.

Selesai mata pelajaran, yang kulakukan hanya berkutat dengan laptopku menonton film kesukaanku dengan gelak tawa. Sekiranya dapat mengobati rasa rindu.

Jujur tuhan, aku rindu kepadanya saat ini. Entah, aku merasa kehilangan kali ini. Padahal aku bukan siapa-siapa tentangnya, aku baru saja mengenalnya. Tapi, aku rasa aku sudah mengenalnya sangat panjang, dan sekarang aku sudah mencintainya.

Mengapa harus sekarang, aku tahu ini egois, tapi aku rindu sangat merindukannya.

**

Sudah dua hari, semenjak Samudra tidak masuk sekolah.

Sepulang sekolah aku langsung bergegas menuju halte dan memutuskan untuk langsung pulang ke rumah saja, akhirnya pada saat aku tepat berdiri, belum lama busnya datang. Lalu di bus aku kaget mendapati seseorang yang tengah memakai pakaian muslim yang wajahnya kukenal sekali. Tidak asing, sungguh tidak.

Saat kulihat wajahnya itu Samudera, memakai pakaian muslim tadi dengan pecinya. Jujur, aku tertegun melihat dia berpakaian seperti itu.

Dia belum sadar akan kehadiranku, karena posisinya saat aku naik dia tengah memainkan ponselnya sambil menunduk. Aku terus memperhatikan orang yang selalu merenggut perhatianku seutuhnya untuk saat ini.

"Aresha?" ucap seseorang dengan nada lembut khas itu.
Akupun menoleh lalu menjawab, "iya?"
"Kamu suka naik bis umum ini?" tanya seseorang itu yang merupakan Samudera.
"Eh iya," jawabku.

Banyak pertanyaan di benakku yang ingin sekali aku tanyakan kepadanya. Banyak sekali, rasanya ingin tumpah dengan gelak tawanya saat ini. Tapi tidak mungkin juga.

"Aresha? Kamu turun di halte depan rumahmu?" tanya Samudera kepadaku.
"Iya," jawabku.
"Mau tidak ke kafe yang kemarin kembali," tanya dia kepadaku.

Ulangi semesta, ulangi terus menerus apa yang diucapkannya dan buktikan kepadaku bahwa itu bukan mimpi. Buktikan ya? Aku rasanya seperti bermimpi saat ini.

"Aresha," tegasnya sambil menepuk pundakku yang tengah melamunkan berbagai presepsi yang tidak mungkin dia mengajakku kembali.
"Iya?" jawabku.
"Mau tidak?" tanya dia kembali memastikan.
"Boleh saja," jawabku sambil tersenyum tipis ke manik hazelnya dan alis mata yang tebal itu.

Dia pun tersenyum, dan mengusap pipiku untuk menyeka rambut yang jatuh di hadapan wajahku.
Sial! Pipiku pasti memerah sekarang, rasanya semesta panas sekali, perutku seperti mengeluarkan jutaan kupu-kupu yang berterbangan, dadaku sesak sekali menerima pacuan jantungku yang sangat cepat. Rasanya ingin kupeluk saja manusia ini. Selalu memberikan kejutan di setiap momennya.

Setelah kejadian itu, aku dan dia saling diam sampai bis umum menginformasikan halte yang menjadi tujuan aku dan dia menuju kedai kopi tersebut. Samudra dengan setelan muslimnya dan aku dengan seragam sekolahku.

"Gak apa-apa?" tanya dia memastikan kembali.
"Gapapa, aku juga ada waktu luang kok," jawabku dengan senyum tipis sambil aku menunduk. Sangat tampan dia memakai setelan itu. Hatiku pun ikut bahagianya dengan penampilannya seperti ini.

Samudera berbeda dengan biasanya yang selalu memakai jaket adidas atau hoodie hitam dengan topi sekolah yang senantiasa menempel di kepalanya. Aku pun tidak tahu juga, alasan dia selalu memakai topi tersebut.

Kali ini dengan, kaus putih, sarung, dengan peci. Ah, rasanya dadaku berdebar kembali dengan kencang. Rasanya bibirku pun turut melengkungkan bulan sabitnya tanpa henti.

Bahagia sekali semesta, hari ini.

Sampai di kedai kopi, aku dengannya duduk di luar ruangan kedai tersebut. Samudra memesankanku caramel machiatto yang sedang kugemari akhir-akhir ini, rasa tersebut selalu mengingatkanku perihalnya.

Samudra datang dengan dua gelas kopi, dia menyajikannya kepadaku. Baik sekali dia memperlakukanku, sungguh lelaki yang sangat berbeda.

"Kamu kemana saja?" tanyaku yang berada di benakku akhirnya pecah juga. Untuk mengajukan itu aku berpikir sekeras mungkin untuk mengajukannya. Dan aku pun sebelumnya sempat membaca basmalah terlebih dahulu.

"Aku?" tunjuknya pada dirinya sendiri dengan polos.
"Bukan, itu gelas," jawabku sambil menunjuk ke arah gelas.
"Aku ada urusan keluarga, ini baru saja pulang," jawabnya enteng dengan menyeruput kopi hitam itu.
"Oalah, kamu tadi naik bis umum mau kemana?" tanyaku kembali kepadanya.
"Menjemputmu," jawabnya.

Semesta, bolehkah bertanya? Dia manusia berasal dari mana? Kau turunkan dimana? Tidak tersesatkan?

"Ngapain jemput-jemput?" jawabku dan tanyak sekaligus.
"Suka-suka lah," jawabnya dengan tertawa khasnya dan juga lesung pipi yang muncul dari permukaannya.
"Iya kenapa jemput aku?" tanyaku dengan refleks.
"Gapapa, Aresha Ashana Pradana," jawabnya dengan lembut sekali. Nadanya seperti nyanyian yang sangat syahdu.

"Aresha, rambutnya diikat. Nanti wajahmu terus tertutup. Nanti cantikmu hilang," ucapnya sambil tersenyum dengan membenarkan kembali. Lalu mengikat rambutku dengan gaya kuncir kuda yang cukup acak-acakan.

Semesta, sudah cukup. Aku hampir mati.

"Makasih Samudera, boleh jujur nggak?" ucapku ragu-ragu.
"Kalau mau bicara, bicara saja," ucapnya santai.
"Aku rindu," ucapku dengan cepat.
"Aku juga rindu," jawabnya dengan tersenyum yang paling termanis di dunia.

***

Surat untuk SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang