BAB 4: Festival

22 9 0
                                    

BAGIAN EMPAT

"Semua orang memiliki titik bahagianya masing-masing, saya pernah dikecewakan. Namun tak membuat saya harus larut dalam kekecewaan itu"
-Rizky Samudera Ardana

****
➖Roman Picisan - Dewa.

PERAYAAN kemerdekaan semakin dekat, setiap tahun sekolah mengadakan lomba dan bazzar yang diadakan dan dikoordinasikan oleh kelas 12. Mau tidak mau juga, tahun ini aku harus turun ke lapangan untuk membantu perihal bazzar untuk kelasku.

Benar saja, pelaksanaannya dilaksanakan dalam waktu singkat. Yaitu satu minggu lagi, disaat kelas lain sedang kocar kacir menyiapkannya. Kelasku tidak ada minat sama sekali untuk mengikuti bazzar itu. Mereka menjawab "Nanti saja pas H-3, toh masih satu minggu lagi."

Itulah keistimewaan kelasku, terlalu santai dalam menghadapi sesuatu, aku menyukai itu. Tak ada orang yang pandai mengatur dan harus cepat pada waktunya. Dan kelasku juga mempunyai prinsip "Santai yang penting selesai".

Jam kosong tengah melanda kelasku, sangat ricuh. Populasi kelasku yang merupakan sebagiannya orang gila yang membuat kelasku penuh dengan keramaian dan berisik.

Hani pun mengajakku ke kantin, dan aku menyetujuinya. Satu tempat yang aku benci saat jam istirahat tiba, namun saat jam kosong aku sangat menyukai kantin yang senyap dan sepi. Paling hanya diisi oleh siswa yang sedang jam kosong juga, atau yang kabur jam pelajaran dan diam di kantin.

Di sekolahku terdapat tiga kantin, dan semuanya didatangi khusus oleh setiap angkatan. Namun biasanya angkatan teratas bisa saja menguasai kantin itu. Seperti dahulu saat aku kelas 11, banyak kelas 12 yang lebih sering datang ke kantin kelas 11.

Aku pun menuju kantin kelas 11 yang cukup sepi, membeli jajanan khas yang biasanya sering aku beli bersama Hani dan Shane. Hanya beberapa, namun nikmat dan mengenyangkan juga.

Ada yang berbeda tatkala aku mendatangi kantin, seseorang dengan seragam khas mahasiswa sedang berbincang lalu menatapku. Tatapan yang tajam namun intens. Mata itu, yang dulu selalu aku rindukan, mata itu juga yang membumihanguskan.

Aku dan dia bertatapan cukup lama, sebelum aku yang memutuskan kontak mata itu dengannya, terlalu sakit jika terus menerus aku menatapnya.

"Aresha Ashana?" panggilnya sekaligus memastikan apakah itu diriku sendiri.
"Ya?" jawabku.
"Apa kabarnya?" diantara berjuta pertanyaan yang ia ajukan kepadaku, mengapa harus kabar.
"Baik, kak Regal?" tanyaku padanya.
"Alhamdulilah baik juga," jawabnya dengan suara khasnya.

Regal Alfahreza merupakan kakak kelasku dahulu, si brengsek yang selalu membuatku kocar-kacir dahulu. Lelaki jangkung itu kemudian kembali berekspresi dingin setelah berbicara denganku.

Hani yang mengetahuinya, diam saja dan lebih menyaksikan percakapan singkat tadi.

"Itu Regal?" tanya Hani.
"Iya," jawabku.
"Kuliah dimana?" tanya Hani.
"Nggak tau," jawabku singkat.
"Dia berbeda ya sekarang," kata Hani.
"Iya juga, semoga dia bahagia aja," harapku yang diucapkan kepada Hani tentangnya.

Shane hanya menyaksikan pula tanpa bertanya, dia pun hanya fokus membeli makanan dengan pedas yang tingkat tinggi. Shane memang pencinta pedas, ketika dia membeli sesuatu yang bisa dibumbui pedas. Maka dia pasti meracik bumbu makanannya dengan pedas yang tidak wajar.

Surat untuk SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang