BAB 2: KELAS

37 11 0
                                    

BAGIAN DUA
"Semesta selalu mempertemukan kita, aku tidak tahu ini pertanda apa. Tapi diriku aneh sekali."

******
➖Rex Orange County- Sunflower

HARI setelah penutupan MPLS, kegiatan belajar mengajar mulai dilaksanakan, aku pun masuk kelas dengan tergesa-gesa karena mata pelajaran pertama fisika yang gurunya sekaligus menjabat sebagai guru BP.

Untungnya belum datang, aku pun langsung duduk di samping Hani, saat aku menoleh ke sebelah kiri, di depanku ada pengurus OSIS yang kemaren kupotret dan aku kagumi senyumannya. Aku pun menampar pipiku sendiri, apakah ini mimpi, untungnya pipiku meringis. Ini bukan mimpi, kupastikan diriku sendiri ini bukan mimpi.

Aku pun langsung memberikan kode kepada Hani, untung dia mengerti.

"Iya tau, Sha. Dia kan satu SD sama aku," jelasnya padaku.
"Kok kamu nggak kasih tau?" tanyaku padanya.
"Ngapain juga? Kamunya nggak nanya, nanti aku jelasin kamu jawabnya 'siapa yang nanya' lagi," celetuk Hani kepadaku.
"Hehe iya maaf, namanya siapa?" tanyaku kepadanya lebih mengarah ke ingin tahu sih.
"Rizky Samudera Ardana," ucap Hani dengan santainya kepadaku. Oke Ardana ya? atau Rizky? atau Samudera? Entahlah.

Eh sejak kapan aku menjadi seperti ini? Ya ampun biasanya saja seorang Aresha tidak pedulian dengan seorang laki-laki yang ganteng sekalipun dengan manurios kesukaan teman barunya yang bernama Shena, Hilda yang pencinta cowok bertato seperti younglex. Ataupun seperti Hani yang pencinta cowo lokal di instagram. Aku sendiri mengakui, aku memang cuek terhadap cowok, paling-paling menganggap teman saja. Tapi kenapa, berbeda sekali dengan dia?

Guru fisika pun masuk, dengan ketukan sepatu khasnya dia pun langsung berdehem lalu mengucapkan salam, memperkenalkan diri dengan logat garangnya.

"Ya nama saya Nuraeni, kalian bisa panggil saya Bu Nur. Disini saya akan menjelaskan apa yang akan saya ajarkan kepada kalian setahun mendatang," ucapnya dengan nada yang sangat jutek dan tidak bernada sama sekali.

Bu Nur atau bu Ratu, juga dia mengajar Fisika saat aku menduduki kelas 11. Pasti saja hobinya ulangan harian dadakan selain itu tugas yang berlapis-lapis selalu ia laksanakan. Apalagi kelas 12, pelajaran yang semakin rumit pastinya.

Dia pun menjelaskan apa yang dia akan lakukan selama dia mengajar Fisika juga peraturan-peraturan yang harus ditegakkan saat belajar dengannya. Dan peraturannya sangat ketat sekali.

"Oke setelah itu saya ingin berkenalan dengan kalian yang belum pernah ataupun sudah pernah belajar dengan saya, dimulai dari sebelah kiri," katanya sambil menunjuk orang yang duduk di depan sebelah kiri, juga sebelahnya pengurus OSIS itu.

Setelah menyebutkan nama dan asal kelas, kini giliran pengurus OSIS itu menyebutkan namanya.

"Samudera Rizky Ardana, asal kelas 11 IPA 6," saat di mengucapkan itu, suaranya semesta jika boleh jujur, lembut sekali. Mungkin terasa berlebihan, tapi itu benar adanya, dengan matanya memandang lurus ke depan aku bisa melihat bagaimana lentik dan lebatnya bulu mata dia.

"Han dipanggilnya apa sih?" tanyaku bisik-bisik pada Hani.
"Panggil siapa? Bu Nur? Kan kamu tahu kelas 11 juga, pelupa amat," ucap Hani, padahal maksudku bukan itu.
"Itu yang Ardana itu," ucapku dengan malu-malu.
"Nanya melulu, naksir ya?" oke Hani malah menggodaku.
"Nggak Han, aku salah panggil nama nanti malu lagi," jawabku dengan alasanku.
"Samudera, panggil aja Samudera."

Samudera rupanya, namanya elok. Menggambarkan lautan yang luas, indah juga dalam. Definisi Samudera yang sesungguhnya menjadi sebuah teka-teki juga, hanya itu yang aku tahu.

Setelah semua siswa dan siswi di kelasku memperkenalkan diri, bu Nur juga langsung memasuki materi pelajaran. Belum saja genap satu minggu masuk ke dalam sekolah, sudah belajar juga. Ujarku dalam hati, tapi ada murid yang terkenal nakal mengucapkan terang-terangan itu kepada Bu Nur.

"Belum aja satu minggu, Bu. Udah belajar aja," ucap salah satu temanku bernama Dana itu kepada Bu Nur.

Bu Nur yang sedang menulis konsep di papan tulis langsung berbalik dari posisinya, matanya seperti mengeluarkan kilatan merah seperti akan menerkam saja.

"Bicara apa tadi kamu!" tegasnya.
"Masa buk, belum saja seminggu udah belajar lagi," ucap Dana dengan santainya.
"Dana Warganegara! Keluar dari ruangan saya sekarang," perintah Bu Nur dengan tegas.
"Lah bu ini kan kelas 12 IPA 4, bukan ruangan ibu," jawabnya untung mengelak guru berwajah tegas itu.

Semua murid tertawa, pun aku, pun Samudera. Tertawanya indah, aku menyukainya.

"Jangan tertawa, saya tidak memerintahkan kalian tertawa!" tegasnya setelah itu kelas sunyi.
"Kalian kalau mau tertawa, tertawa aja. Kan kata warkop DKI oge tertawalah sebelum tertawa itu dilarang," ucap Dana di balik pintu kelasku.

Sontak setelah itu tawa pecah, karena melihat ekspresi wajah Dana saat mengucapkan kalimat itu. Dan disisi lain Bu Nur ekspresi wajahnya memerah karena dilanda emosi.

"DANA! Keluar sampai jam pelajaran saya selesai," tegasnya dengan berteriak.
"SIAP GERAK BU!" jawab Dana sambil memperagakan baris berbaris lalu,
"Belajar terus ah gak asik, kantin dulu ah, dadah," ucap Dana setelah itu diikuti oleh teriakan Bu Nur.

Kelasnya cukup mengasyikan selain ada Dia.

***

Sepulang sekolah, aku pun menggendong tasku lalu berjalan menuju halte bus sekolahku. Saat aku akan menunggu bus yang lewat di halte. Tiba-tiba ada motor yang lewat dihadapanku, nampak tak asing juga. Aku tahu motor itu, itu motornya Jingga.

Benar saja motor itu berhenti di hadapanku, dengan memakai helm fullface hitam khasnya dia berbicara kepadaku dengan nada tak jelas.

"Naik ke motorku, cepat," ucapnya dengan nada tidak jelas.
"Lepas dulu helm mu, bicaramu sangat tidak jelas," ucapku padanya.

Diapun melepas helmnya lalu terlihatlah wajah bulat dengan mata sipitnya berbicara kepadaku,

"Kamu ini, mari pulang denganku," ajaknya padaku.
"Aku naik bus saja, Ga. Takut ada yang lihat," jawabku khawatir.
"Udah ayok mau?" ujarnya padaku dengan menarik tanganku.

Aku pun memakai helm fullface satu laginya yang dibawa olehnya, di seberang halte sana ada seseorang yang sedang mengobrol dengan teman-temannya. Itu adalah Samudera.

Dia melirikku intens dengan mata bulatnya, lalu aku pun mulai naik ke motor trailnya Jingga dan melesat ke jalanan kota.

Disepanjang jalan, yang dilakukannya hanya mengoceh yang lebih kepada 'cerita' tentang kehidupannya, sesekali dia melawak tentang sesuatu apa saja yang lalu lalang di jalan, dengan aku yang masih memakai seragam putih abu-abu.

Jingga berhenti di hadapan kafenya, lalu memintaku turun dan menuju ke rooftop kafe tersebut dimana aku dan dia sering bercengkrama bersama.

"Tadi ada laki-laki yang intens melihatmu siapa dia?" tanya Jingga.
"Teman kelasku," jawabku.
"Dia tampan, kamu sepertinya menyukainya," kata Jingga sambil menyeruput kopi yang telah disediakan.

Aku diam membisu, tidak bisa menjawab pernyataan itu.

Surat untuk SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang