Bab 17: siapa?

11 3 0
                                    

BAGIAN TUJUH BELAS
"Rasa nyaman, semuanya perihal nyaman. Cinta butuh pondasi yang senyaman mungkin, bukan semesra mungkin"

***

SAAT aku memasuki kelas, dan duduk di mejaku. Ada secarik surat, yang tulisannya sangat asing, namun berpuitis.

Tulisannya sedikit acak-acakan. Aku butuh mencerma lebih lama untuk mengerti lebih dari tulisan itu.

Jika kamu bidadari di bumi,
Berati kamu bidadari dalam semestaku.
Wajahmu bercahaya gemilang
Bagai bulan bersinar di atas langit malamnya.
Paling cerah dan tak tertandingkan.
— j

Ada inisial J di ujung tulisannya. Siapa J? Bahkan aku tak mengenal yang berinisial J disini. Aku tidak tahu dan melipat kertasku dan menyimpannya di loker. Karena takut ketahuan Samudra.

Sepulang sekolah, setelah menemaninya berkegiatan organisasi. Seperti biasa, menikmati senja dengan segelas kopi di atas kafe yang tengah hits. Ramai sekali sih, tapi senjanya cukup indah. Aku dan dia dipotret dengan polaroid dan analogku oleh Hani dan Shane.

Jadi bukan berduaan, tapi ber enam. Hani dengan Pras, Shane dengan Dzikri. Kami memang sering menyantap atau sekedar nongkrong saja di sebuah kafe seperti ini. Rasanya ramai dan melepas penat.

Masih kembali pada kejadian tadi, aku masih memikirkan kertas berisikan nada puitis itu. Sangat puitis kelihatannya, terlihat dari rangkaian katanya yang apik.

Samudra saja tidak pernah merangkai kata sampai seindah itu, maafkan aku sam. Aku baru melihat rangkaian kata itu baru kali ini saja dalam hidupku.

Aku khawatir, sangat khawatir terhadap pengirim itu. Namun aku berusaha untuk menghiraukan tulisan itu.

Setelah pulang dari kafe, dia mengajakku untuk menuju sebuah bukit dengan pemandangan malam. Untungnya dia membawa mobil, katanya takut aku digigit nyamuk yang berani menciumku. Padahal dia saja katanya yang notabene sebagai pacarnya tidak berani menciumku. Hahaha memang, dia pria yang menjunjung kesopanan tingkat tinggi.

"Bentar lagi semester 2 Sha, mau terusin kuliah dimana?" tanya dia tiba-tiba saat meminum cokelat panasnya.
"Nggak tahu, belum ada tujuan. Kamu nanyanya ke orang yang salah ah, aku gatau," ucapku padanya. Ya memang, aku belum ada tujuan berkuliahku dimana rasanya jauh dari anganku untuk melenggang jauh ke universitas.
"Gaboleh gitu Sha, kamu mau terusin dalam negeri kan?" tanya dia.
"Enggak tahu Sam, aku harap banget gitu ya," ucapku melemas.
"Loh kenapa?" tanya dia.
"Kemungkinan aku di luar negeri, walau kesempatannya nol besar. Tapi aku pengen banget sama kamu, satu kampus satu universitas. Kamu mau kemana?" tanyaku padanya. Dan dia tiba-tiba mengenggam tanganku dan mengelus punggung tanganku.
"ITB," ucapnya.
"Jurusan?" tanyaku.
"Teknik Industri," jawabnya.
"Cocok, kamu nyambung. Aku doang kayanya ya masih abu-abu," ucapku padanya.
"Enggak kok, sedih juga. Nanti kamu sama aku direntangkan sama jarak ya Sha. Kalo mau minum kopi sama kamu ongkosnya mahal dong," katanya sambil menoleh ke arahku.
"I always be your side, in any country. You always in my heart, Rizky Samudra Ardana," kataku padanya sambil memainkan rambut lurusnya.

"Tetap kaya gini, aku nyaman banget sama suasana ini. Aku mohon Sam, dalam kondisi terburukku. Kamu jangan sempet-sempetnya tinggalin aku, karena aku sudah menyayangimu sedalam ini," ucapku padanya.

Dia tak menjawab dan memelukku erat.

"Jika memang salah satu dari kita harus pergi, baik direntangkan jarak, ataupun saat maut memisahkan kita Sha. Mau aku berhubungan dengan wanita lain jika suatu saat nanti kamu bukan jodohku. Kamu harus terima, satu hal yang harus kamu ingat. Kamu cinta pertama saya yang tidak akan pernah saya lupakan sampai kapanpun. Posisimu tetap nomorsatu di hati saya," ucapnya sambil menitikkan air mata.

"Im yours Sam," ucapku pelan.
"Im yours too," jawabnya.

Dia laki-laki yang sangat baik-baik sekali, yang semesta telah berikan kepadaku.

Aku telah jatuh terlalu dalam untuknya.

**

Surat untuk SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang