BAB 11: Skorsing

13 7 0
                                    

BAGIAN SEBELAS
"Aku bukan anak yang baik, aku hanyalah anak yang selalu membuat kalian kelimpungan menghadapiku."

**

AKU pulang, membuka knop pintu dan terdapat ibuku yang sudah pulang dari pekerjaannya. Aku pun menyalaminya, dan langsung menuju lantai atas ke kamarku.

"Aresha!" panggil ibuku.
"Iya," jawabku sambil menoleh.
"Sini kamu," perintahnya.

Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Ada kilatan marah di arah matanya.

"Echa, ibu bingung lagi ngehadapin anak macam kamu ini. Tadi siang ibu di kantor ditelepon oleh gurumu, katanya kamu memanjat benteng sekolah, echa pesan mama kamu jadi anak yang baik saja. Kamu di skorsing satu minggu?" ucap ibu sambil memijat pelipisnya.
"Iya bu, Echa di skorsing," ucapku pelan.
"Kamu ini, jangan malu-maluin ibu. Satu minggu kamu tinggal aja di apartemen. Sana bawa barangmu, ibu pusing melihat wajahmu hari ini," katanya sambil mengusirku dengan memijat pelipisnya.

Aku pun pergi ke kamarku, membawa semua baju dan peralatan ku di kamar hingga kosong, setelah itu aku tak berpamitan dengannya. Untuk menuju kesana aku mengendarai mobil sendiri. Tak lama dijalan setetes air mata mengalir di pipiku mengingat kejadian tadi.

Aku memang anak yang bukan diinginkan.

Sebelum menuju apartemen, aku mengendarai mobilku menuju rumah kakakku. Sharonn Khalisah Pradana. Merupakan jurnalis di salah satu stasiun tv luar negeri yang bercabang di Indonesia.

Aku pun masuk, dengan wajah datar. Dia memintaku duduk.

"Kenapa sha? Ribut lagi sama ibu?" tanya dia yang sudah membaca keadaanku.
"Gatau aku ronnie, aku kerna skorsing," ucapku padanya.
"Kamu kenapa kesini? Selesaiin masalah kamu sama ibu, jangan pergi-pergian," katanya sambil memijit pelipisnya pula.
"Maaf ya ronnie, kamu punya adik kaya Echa yang nyusahin, udah selesai ronnie, ibu suruh aku tinggal di apartemen aja," ucapku sambil menunduk.
"Gak cha, kamu itu gak gini. Ibu terlalu memandang kamu sebelah mata," katanya berapi-api.
"Cukup Ronnie aja Cha, yang ngalamin semua keinginan orangtua kita, kamu jangan."

Setelah itu kami menangis dan saling berpelukan. Aku hanya merasa memiliki Sharonn seorang saja dalam keluargaku. Aku merasa, kontak batin antara orangtuaku sudah melengang jauh.

Sharonn menginap di apartemen, ini apartemen dulu Sharonn dimana ia tinggal sebelum membeli rumah dengan suaminya. Kartu masuknya diberikan oleh mama. Aku mengeluarkan keempat koperku dan membawanya masuk ke kamar.

"Kalo ada apa-apa, kamu udah tanggung jawab aku Cha," katanya.
"Makasih Ronnie, kamu memang terbaik," kataku sambil memeluk erat tubuh Ronnie.
"Ronnie pulang ya?" katanya pamit.
"Iya hati-hati," ucapku.

***

Pagi hari aku hanya diam saja di apartemen, hanya menonton tv, melihat balkon, sesekali memesan makanan. Jujur, ini sangat melelahkan dibandingkan aku harus sekolah.

Hani mengajakku face time, aku mengangkatnya. Dan dia konon akan berkunjung ke rumahku. Tak kuberikan izin, aku kirimkan alamat ke apartemenku saja. Yang mungkin aku akan tinggal disini, sampai lulus.

Dia tidak sabar ingin menemuiku, memang sedikit berlebihan dia. Aku tutup face timenya dan kembali menonton kartun di televisi.

Keluargaku termasuk keluarga yang utuh, tidak ada masalah sama sekali. Aku hanya dua bersaudara, aku juga kakakku Sharon yang telah menikah.

Namun, ayahku sering berpergian keluar kota demi perusahaannya. Ibuku pekerja kantoran. Aku tidak memiliki waktu bersama orangtua, aku hanya memiliki waktu bersama teman. Dengan Sharonn pun jarang, karena ia pun tengah bekerja di ibukota. Rumahnya kosong, paling hanya terisi jika dia pulang saja. Seperti kemarin.

Yang peduli mengenai hidupku hanya Sharonn satu-satunya. Dia seperti ibuku, bukan seperti kakakku. Penerapan pendidikan karakter yang diberikan orangtuaku sangat kolot. Meskipun mereka hidup di zaman moderen.

Ada yang memencet belku, kuintip bukanlah Hani yang datang melainkan Samudra. Kubuka pintu, lalu dia kupersilahkan masuk.

"Kamu tinggal disini?" tanya dia.
"Mungkin iya," jawabku.
"Kok mungkin?" tanya dia balik.
"Iya tinggal disini," jawabku pula.
"Ganti bajumu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat," katanya.
"Kemana?" tanyaku penasaran.
"Udah, sama Hani dan Shane juga kok," ujarnya sambil tersenyum.

Aku pun bergegas mengganti pakaianku, pakaianku sederhana, hanya kaos oblong kebesaran beserta celana jeans saja. Memang monoton, tapi aku nyaman.

Setelah itu, aku dan dia pergi menuju pusat perbelanjaan di kotaku yang sangat ramai. Setelah mencari parkir yang sangat melelahkan. Aku dan dia pergi ke restoran jepang yang dimana Hani dan Shane telah sampai duluan.

Ini pasti idenya Hani, sebab dia tahu aku gemar makanan jepang. Aku duduk di samping Samudra. Ini sangat tidak nyaman semesta, jantungku berdebar kencang sekali.

Makanan pun datang, kami berbincang banyak hal sampai Shane memberikan pertanyaan yang tidak bisa kujawab.

"Sha, kamu diskorsing kan. Terus tanggapan orangtua gimana?" tanya dia.

Aku diam tak menjawabnya. Beberapa saat lalu aku menjawab.

"Ya mereka marahlah, siapa yang gak kesel anaknya nakal kaya gini," jawabku sambil terkekeh.

Hanya dengan mereka, aku bisa menjadi diri sendiri.

Saat aku tengah bercengkrama, ada seseorang yang datang ke mejaku. Itu Jingga, dengan penampilan urak-urakannya dia duduk di sebelah Samudra yang membuatku terhimpit.

"Bentar-bentar aku pindah," kataku tak nyaman.

Aku pun duduk bertiga dengan Hani dan Shane. Jingga dengan Samudra. Lalu dia pun mengajak bersalaman dengan teman-temanku.

Saat bersalaman dengan Samudra, dia sedikit berkenalan banyak. Memang orang itu sedikit gila.

"Jingga, kakaknya Aresha," ucapnya memperkenalkan diri.
"Samudra kang," katanya dengan kaku.
"Santai weh," ucap Jingga sambil menepuk bahu.

"Ga, mau mesen?" tanyaku.
"Enggak-enggak, tadi udah makan," katanya.

Setelah itu, aku berakhir pulang dengan Jingga. Maaf ya Samudra.

Di apartemen, Jingga memintaku untuk bercerita. Tentang skorsingku yang ia tahu dari Hani bukan dari mulutku sendiri.

"Kenapa Sha?" katanya dengan nada lembut.
"Aku di skorsing," ucapku.
"Cerita," perintahnya.

Aku menceritakan semua kejadian detail kemarin malam, ribut bersama ibuku, bertemu Sharonn, dan tinggal disini. Dia mendekapku, dan aku kembali menangis di dadanya.

"Udah Resha, masih ada aku, Sharonn, sama teman-teman kamu," katanya sambil mengelus pundakku.
"Setelah kejadian ini, Jingga mau ngelindungin Aresha sampai kamu nikah sama laki-laki yang mau minang kamu Sha, izinin aku," katanya meminta izin dengan berlutut kepadaku, dan aku menepisnya agar bangun.

"Iya ga, makasih. Kamu selalu ada untuk aku, makasih banyak ya," ucapku sambil mengenggam tangannya. Lalu menyender di bahunya, dia memang kakak yang terbaik. Sharon merupakan ibu yang baik.

****

Surat untuk SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang