BAB 16: Rumahnya

12 4 0
                                    

BAGIAN ENAM BELAS
"Kamu memang perwujudan kebahagiaanku, setidaknya bertahanlah dalam jangka waktu panjang. Karena bersamamu kini sangat indah"

**

SETELAH kejadian itu, setelah dia menyatakan cintanya. Juga diriku sih, dunia berubah. Rasanya pelangi baru muncul dari peradabannya. Hari-hari dilukis bahagia, dia memang pemberi kebahagiaan nomor satu. Untuk saat ini.

Kali ini aku sedang menunggunya di depan gerbang rumah. Kini aku tinggal di rumah Sharon, apartemen tak menjamin hidupku yang lebih baik lagi. Katanya, aku dapat terus terngiang-ngiang oleh kejadian itu.

Motor vespa kuning itu datang, dan membuka helmnya. Kemudian tersenyum, memakaikan helm ke kepalaku.

Tak percaya juga, aku dapat sedekat ini dengannya, semesta yang membuktikan teori cinta pada pandangan pertama yang kini jatuh kedalamnya.

"Nunggu lama Sha?" tanya dia.
"Enggak kok," jawabku.

Kini penampilannya lebih bertambah, ia memakai kacamata. Matanya miopi karena keseringan berkutat di layar bermain game online. Dia juga menerima resiko itu. Malah, sekarang semakin tampan saja.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah dia terus mengomel, bahkan saat kemacetan pagi hari. Dia sama sekali tidak mengeluh, malah semakin mengoceh.

Di parkiran sekolah dia turun, lalu memakai almamater osisnya. Yang semakin memperlengkap penampilannya saja. Jujur tuhan, sangat tampaaaaaaannn. Ingin kubawa saja dan jadikannya hiasan.

"Kenapa diliatin melulu hayo," katanya.
"Gapapa," jawabku sambil melihat ke arah lain.
"Kenapa sih Sha?" tanya dia.
"Kamu bagus banget hari ini," ucapku malu-malu.
"Jangan suka lebih-lebih Sha," katanya.

"Yuk?" sambil menyodorkan tangannya. Aku tidak mengerti.
"Apa?" jawabku tak mengerti.
"Kaya gini, masa nggak ngerti," ucapnya sambil menggenggam tanganku.
"Jangan Sam, takut ketauan banyak orang," ucapku sambil berusaha melepaskan genggaman itu.
"Nanti kalo kemana-mana harus digenggam, aku takut kamu digondol orang Sha," katanya sambil terkekeh dan berjalan menuju kelas.
"Ya kan kamu malingnya," jawabku sambil berusaha mensejajarkan langkahku agar sama dengannya.
"Ngapain aku jadi maling? Kalo maling kamu sih mau. Tapi enggak deh, bawel banget," katanya nyebelin.

Tiba di ruangan pengurus osis dia berhenti.

"Kamu duluan, aku kesini dulu ya," katanya sambil mengacak-acak rambutku.
"Jangan gitu," kataku.
"Iya, hati-hati. Kalo kamu diculik, nanti aku bisa-bisa gila Sha," katanya.
"Udah sana masuk, jangan bikin baper anak orang," ujarku malu-malu.
"Emangnya kamu baper Sha?" katanya sambil mencubit pipiku.
"Tau deh! Aku ke kelas duluan ya," tegasku malu.

Untung saja, lorong itu agak sepi. Kalau ramai, aku tidak tahu bagaimana jadinya. Dia selalu memberi kejutan yang tak terduga. Dan kesalnya, selalu membuat dadaku selalu berdebar-debar.

Sampai di kelas, tatapan curiga dihadiri oleh Hani. Pun Shane.

"Kamu ada hubungan apa sih sama Samudra?" tanya Hani.
"Cuman teman aja," ujarku.
"Teman aneh banget gitu, Samudra gapernah gitu sama cewe. KAMU PACARAN?" tanya Shane tegas dan disulut rasa penasaran.
"Gimana ya? Bingung juga sih," kataku.
"Aku tau kamu banget Sha," kata Hani.
"Enggak tahu, aku kan belum pernah pacaran. Kemaren cuman sama-sama menyatakan aja," ucapku yang membuat keduanya kaget.
"Pas kemana? Ke rumah neneknya?" tanya Shane.
"Ya kemana lagi dong Shan, orang kemaren kesana," kata Hani mengetuk kepala Shane.
"Ya maaf kali, salah dikit," ucap Shane.

Aku tertawa, terkadang mereka selalu begitu. Mengajakku selalu bercanda dengan keributan mereka ataupun keributan denganku. Mereka memang menyenangkan.

**

Sepulang sekolah, seperti biasa aku menunggunya dekat halte sekolah, tak lama vespa matic kuning itu datang. Pemiliknya seraya tersenyum, aku menghampirinya.

"Nunggu lama?" tanya dia.
"Enggak kok," jawabku.
"Nih," katanya sambil menyodorkan dua tiket konser.
"Apa ini?" tanyaku.
"Liat aja," suruhnya.

Tertulis disana sebuah acara band, termasuk favoritku sekali. Mana mungkin, ini konsernya Boy Pablo. Aku menatap tiket itu dengan mata yang berbinar. Memang tuhan, dia merupakan manusia penuh kejutan.

"Repot-repot ish," kataku sambil mengetuk helmnya.
"Ya maaf, cuman segitu yang bisa aku kasih," katanya sambil mematikan mesin motor.
"Ini lebih, lebih dari cukup Sam. Makasih banyak," ucapku sambil memasang helm.
"Nanti malam aku jemput ya? Jangan ketiduran. Nanti kamu tak akan bertemu dengan kekasihmu, si Boy," katanya sambil fokus mengendarai motor.
"Heh sembarangan," kataku.
"Iya sih memang, kekasihmu kan Boy, yang ada di sinetron televisi," katanya sambil tertawa.
"Bukaaaaannnn!!!," tegasku padanya.

"Siapa?" tanya dia menyebalkan.
"Ocean, hahaha," jawabku sambil terkekeh.
"Pacar kamu luas banget berati," katanya.
"Tau ah, gitu aja gak ngerti," ucapku.
"Jangan cemberut, mau turun gak?" tawarnya yang berhenti tepat di toko brownies alpukat.
"Mau hehe," jawabku.
"Brownies alpukat kayanya juara nomor satu ya," katanya sambil memarkirkan motor.
"Nggak juga," jawabku.
"Lalu siapa?" tanya dia dengan wajah yang sangat menyebalkan.
"Kamu, paling nyebelin lagi. Kesel da," ucapku padanya sambil melahap brownies alpukat itu.

"Emang aku ngeselin? Dari kapan?" tanya dia pura-pura lupa.
"Dari kapan ya? Dari pertama kali juga udah nyebelin. Mukanya sok-sokan cuek lagi," kataku padanya yang membuatnya tertawa terbahak-bahak.

"Kamu nyenengin banget sih Sha, heran," katanya sambil mencubit gemas pipiku.
"Gemesan kamu, pipinya kaya jelly gini," kataku sambil mencubit pipinya keras sehingga dia mengeluh kesakitan.

Memang, dia manusia yang tahu akan arti kebahagiaan dalam diriku. Membawaku dalam kesederhanaan, tanpa dilebih-lebihkan. Yang terpenting, jadi diri sendiri.

Surat untuk SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang