BAB 18: Orang itu

43 5 0
                                    

BAGIAN DELAPAN BELAS

"Aku tidak menolakmu, hanya saja. Aku mempunyai satu hati yang singgah, dan perlu kujaga,"

***

HUJAN tengah deras-derasnya di luar. Bel sekolah telah berbunyi sedari tadi, banyak murid yang mencoba menerobos derasnya hujan. Ada juga yang masih menetap dan menikmati derasnya air hujan tengah turun ke bumi.

Itu aku. Di koridor sekolah, aku tengan diam. Memperhatikan hujan yang tengah turun ke bumi. Sendirian.

Samudra tengah sibuk dengan organisasinya. Aku maklumi itu. Pasalnya dia juga mempunyai dunia dan cita yang harus dicapainya kan? Jadi aku benar-benar harus memakluminya.

Kulihat dia sedang di ruang organisasinya saat aku lewat menuju kantin sekolah yang sebagian akan menutup tokonya. Dia sedikit tersenyum kepadaku, dan kujawab dengan bisikan semangat kepadanya.

Hujan sedikit mereda, aku pun memutuskan untuk menuju halte sekolah. Ditemani dengan lagu lagu Pamungkas yang melekat dalam telingaku. Aku pun sedikit bersenandung tanpa memperhatikan dilingkungan sekitarku.

Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku. Aku melepas earphoneku. Laki-laki.

Aku mengenal orang ini, namun aku hanya tau nama dan perawakannya saja. Berdialog dengannya belum pernah sama sekali.

Dia menyapaku, terlihat sih. Bukannya aku berpikiran negatif atau mencap seseorang tidak baik. Setiap bertemu seseorang baru, aku pasti deskripsikan. Nah kudeskripsikan orang ini.

Perawakannya tinggi, matanya tidak bulat dan tidak minimalis, wajahnya terlihat ramah. Dan dari penampilan cara dia berpakaian, aku yakin sekali dia termasuk anggota geng yang terkenal di sekolahku. Baju yang dikeluarkan, dalaman seragam yang terdapat kaus hitam. Juga pin yang tersemat dalam bajunya yang membuatku semakin yakin ia termasuk anggota geng itu.

"Galuh Indraprasta," ucapnya sambil menyodorkan tangannya.

Aku tak menjawabnya.

"Hai gue Galuh Indraprasta. Nama lo siapa?" tanya dia kepadaku lagi-lagi.

Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan sinis.
"Aresha," jawabku dingin.
"Jangan jutek-jutek," katanya sambil tersenyum.

Aku tak menjawabnya.

"Lo satu kelas kan sama gue?" tanya dia kepadaku. Basa basi.
"Ya," jawabku.
"Lo pendiem banget di kelas, btw gue udah tau nama lo. Cuman tadi pengen perkenalan resmi aja," katanya sambil melihat ke arah langit yang tengah mendung.

Aku masih mencampakkannya. Malas sekali, bukannya bagaimana. Penampilan dan gaya bicaranya saja terlihat dia seorang pemain wanita. Dan aku sedikit tidak suka melihat lelaki seperti itu.

Bis pun datang, huh 5 menit yang sangat panjang menurutku. Saat aku masuk ke dalam bis, dia pun ikut-ikutan masuk. Dan berdiri di sampingku. Benar-benar keterlaluan.

Aku pernah melihatnya juga sih, satu kali. Dengan motor kawasaki bersama teman-temannya yang lain. Mana mungkin sekarang ia naik bus seperti ini.

"Rumah kamu arah mana?" tanya dia.
"Barat," jawabku asal.
"Ini kan ke arah timur bukan barat," ucapnya.

Aku tak menjawabnya lagi. Dan halte rumah Sharon sudah dekat, lagi-lagi dia ikut turun denganku.

Kubiarkan dan tetap berpikir positif dia akan mengunjungi siapapun itu yang satu komplek dengan rumah Sharon.

Tapi saat dekat rumah Sharon dia memanggilku.
"Aresha, kamu udah aman. Aku pulang ya?" ucapnya.
"Bodo amat," jawabku.
"See you soon," ucapnya.

Siapa sih laki-laki tadi? Aneh, lelaki paling aneh dan yang aku tidak suka gaya ia berbicara seolah-olah dia menunjukkan dirinya playboy.

Satu panggilan tak terjawab. Samudra.

Aku menelepon balik.

"Sha udah sampe rumah?" tanya dia kepadaku.
"Udah Sam dari tadi. Sam kamu pulang jam berapa? Bisa kesini dulu gak?" ucapku padanya.
"Ini udah pulang Sha, lagi beli bensin dulu. Bisa kok, tunggu ya," ucapnya manis kepadaku.
"Iya sam, maaf repotin," ucapku padanya.
"Enggak Sha, tunggu ya."

Dua puluh menit berlalu, motornya telah terparkir di halaman rumah Sharon. Aku mengajaknya menuju rooftop, dimana aku dengannya sering mengobrol disini.

"Kamu capek banget ya?" tanyaku padanya.
"Sedikit," jawabnya.
"Maaf ya aku suruh kesini," ucapku tak enak padanya.
"Iya gapapa, aku dari tadi udah niatin mau kesini kok. Nih buat kamu," katanya sambil menyodorkan brownies alpukat.
"Wah, kejutan banget. Makasih ya," ucapku padanya.

Sambil menyantap brownis alpukat, aku dan dia bertukar cerita tentang hari ini yang dilalui. Termasuk aku menceritakan laki-laki itu.

"Itu temanku Galuh," katanya.
"Takut banget, gangster kayanya. Tapi emang iya sih, aku pernah lihat dia sama geng sekolah," ucapku padanya.
"Dia baik kok," jawabnya sedikit dingin.
"Sam jangan salah paham," ucapku padanya.
"Aku bukannya posesif Sha," katanya.
"Kamu berhak Sam. Aku tau kamu kecewa, kamu harus tau. Untuk saat ini aku masih bahagia sama kamu, bahkan aku nggak ngebayangin rasanya aku pisah sama kamu. Dan semoga itu enggak terjadi," ucapku sambil bersandar di bahunya.
"Kamu memang spesial Aresha. Bahkan akupun sama. Rasanya belum kepikiran di kepala, dan jangan sampe kepikiran," katanya.

Dan berakhir dengan aku memotret dia memakai polaroidku. Kami juga berpose berdua. Dan yang paling mendebarkan, saat aku dipotret olehnya. Kemudian, foto itu disimpan dalam case handphonenya.

"Buat apa sih?" tanyaku padanya.
"Buat penyemangat aja," katanya.
Aku terkekeh. Dan kekehanku berhenti saat dia menatapku lekat-lekat.
"Ngapain sih liat-liat," ucapku.
"Gapapa dong, suka," katanya.

Saat itu, saat senja masih menampilkan pemandangan indahnya. Aku dengannya duduk di antara langit yang sedang berganti mode.

Dia pulang, tepat pukul tujuh malam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Surat untuk SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang