Kamu Dan Kenangan | Spin Off Senja

562 11 1
                                    


Dari sini, ku sorakkan deretan kalimat yang menyatakan,
Kalau aku,
merindukan mu.


Sudah seminggu ini, kerjaan ku hanya tidur sambil merenungkan kenangan yang tercipta di antara kami saat dia masih hidup. Tempat favoritku kini, tempat tidur yang dulu selalu ditempati wanita itu. Alarm ku bangun juga masih sama seperti yang dulu, suara wanita itu, meski sekarang hanya berwujud rekaman.

Sungguh, aku sangat merindukan nya. Merindukan seorang Reina Cindy Nazafarin, seorang wanita yang sudah sah menjadi milik ku seutuhnya. Seorang wanita yang telah ku perjuangkan agar terlepas dari ayah nya. Dan dia juga, seorang wanita pemilik tawa riang di sela kesedihan nya. Inilah dia, istri ku.

"Rein, aku rindu."

Aku akui, aku agak sedikit lebay. Menggunakan kata-kata frasa mirip Dilan di film itu. Padahal usiaku, tak lagi muda. Namun jangan berpikir bila kalimat itu memiliki maksud sama. Tentu saja itu sangat berbeda. Jika di film, Dilan berusaha membuat pipi seorang Milea bersemu merah, berbeda dengan ku. Aku berusaha menyampaikan pesan yang sudah mengggebu di hati pada Reina yang sudah tenang di atas sana.

"Rein! Ku mohon, bila kamu mendengar ku, kembalilah kesini. Aku membutuhkan mu."

Lagi, dan lagi. Aku bermonolog pada diriku sendiri yang kacau. Demi Tuhan, sungguh aku belum siap kehilangan dirinya. Aku masih sangat membutuhkan nya. Karena aku sudah tak bisa hidup sendiri lagi setelah sumpah yang kubuat di depan ayah nya terucap. Aku sudah tak sanggup lagi menyendiri, setelah bertemu dengan nya pagi itu.

Aku merenung sambil menerawang tentang hari-hari  sebelum kematian istri ku. Hari dimana masih belum ada kalimat 'hari sengsara' dalam kamus hidup ku. Meski ku akui, aku harus menerima keadaan jantung ku yang selalu diajak lari marathon saat hasil pemeriksaan Reina keluar.

"Seharusnya, kamu masih ada disini. Surat sialan itu bilang, kamu masih bisa bertahan." Rutuk ku menyalahkan keadaan. Walau aku tahu, itu sangat disalahkan.

"Rein, sampai kapan kamu akan menghukum ku seperti ini? Kamu ngambek kan karena aku gak kasih izin kamu pergi ke taman. Makanya pura-pura pergi?"

Bila kalian tahu, jujur, ini pemikiran gila pertama ku setelah dua puluh empat tahun aku hidup.

"Kemana janji mu yang bilang kalau harus aku dulu yang pergi?"

Tangis itu datang lagi. Air mata yang sudah kering tiga hari yang lalu itu mulai  berjatuhan kembali. Rasanya janji itu masih sangat segar di telinga ku. Padahal seingat ku, janji itu dibuat dua tahun yang lalu. Saat kami memutuskan untuk bersanding di pelaminan.

Aku tidak tahu, kalau akhir jatuh cinta akan semenyakitkan ini. Setelah kepergian seseorang yang kamu cintai. Semua yang menyangkut tentang nya dulu, sangat berarti bagi mu. Oh... Dan harus ku ingatkan lagi, kisah dari cinta mu sejatinya hanyalah perpisahan. Sebab semuanya akan kembali pada Tuhan Yang Maha Esa.

Tapi aku belum bisa menerima kenyataan ini. Kenyataan dimana keadaan menyatakan bahwa aku yang harus ditinggal lebih dulu dari orang yang ku cintai. Kenyataan dimana aku harus kembali berdiri sendiri setelah dua tahun aku hidup dengan seseorang. Sangat menyedihkan.

"Apakah ada hal yang bisa ku lakukan untuk menebus kerinduan ku?"

Ku tatap balkon kamar itu lamat-lamat. Sepertinya ada sesuatu yang berusaha mengusik pikiran ku sejenak. "Apa ya?" Ucap ku. Aku bingung. Tak tahu apa yang harus ku ingat. Tapi aku cukup yakin, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal.

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang