Part 1

47 4 8
                                    

Ting tong ting tong. Suara jam tua itu terus berbunyi nyaring 12 kali diikuti oleh alunan musik piano klasik, "Für Elise yang memecahkan kesunyian malam itu. Menandakan sekarang sudah jam 12 malam. Gelap. Sepi. Hujan pun turun dengan derasnya ditambah bunyian petir yang saling bersahutan. Sekejap kemudian lampu mati. Aku yang tengah tertidur pulas pun terbangun dalam suasana gelap gulita, hujan dan iringan petir yang kian bersahutan. Aku begitu terkejut saat mendengar suara petir yang keras itu. Sontak aku menjerit kemudian terjatuh dari ranjangku. Ponselku terjatuh dan segelas air putih diatas lemari kecil itu pun ikut terjatuh membasahi layar ponselku. Gelas itu pecah. Namun, aku tidak bisa melihatnya karena tidak ada pencahayaan sama sekali disini.

Aku meraba lantai untuk mencari ponselku. Jariku kemudian secara tak sengaja mengenai serpihan kaca gelas yang pecah tadi. Aku kembali menjerit karena sakit sekaligus terkejut. Aku kembali meraba area lain dan berharap dapat menemukan ponselku. Ah! Akhirnya ketemu juga! Aku segera menyalakan flash nya kemudian beranjak keluar kamar untuk mencari lilin.

Aku melangkah pelan menuju lemari kecil dekat tangga. Dan sebelum sampai disana, aku seperti menginjak sesuatu yang empuk bak bantal. Dan di sekitar area itu kurasakan adanya cairan yang begitu banyak yang membuatku jatuh terpeleset.

"Ah apa itu?!" teriakku ketakutan kemudian mengarahkan ponselku pada objek yang aku injak barusan.

"Ah!"

Aku berteriak histeris tatkala aku melihat sebuah potongan tangan dengan darah yang mengucur membanjiri lantai. Aku sontak menutup mataku karena ngeri melihatnya.

Aku kembali sedikit membuka mataku untuk melihat potongan tangan siapa yang tengah berada disana. Aku mendekat. Tercium bau darah yang semakin kuat. Semakin lama rasanya bau darah itu semakin menyengat hidung. Aku merasa pusing dan mual yang luar biasa. Aku kemudian menggunakan bajuku untuk menutupi hidungku. Meskipun aku masih bisa mencium aromanya, setidaknya ini cukup membantu.

Aku mengarahkan ponselku pada potongan tangan itu dan melihat sebuah cincin emas yang terpasang di jari manisnya. Kulit dari tangan itu cerah namun menjadi kemerahan akibat tergenangi oleh darah. Aku kenal dengan tangan itu. Itu tangan Ibuku! Ya, benar itu tangan Ibuku!

Tanpa ba bi bu lagi, aku segera menelpon polisi dan melaporkan adanya pembunuhan di rumah. Namun, belum sempat aku menelpon, sebuah suara berat mengejutkanku dari belakang.

"Mau apa kau, gadis muda?"

"Siapa kau? Apa maumu? Kau kan yang membunuh Ibuku?" tanyaku dengan suara bergetar sembari mundur perlahan menjauhi pria misterius itu.

"Kalau iya memangnya kenapa hah? Kau ingin bertemu dengan Ibumu, kan? Aku akan mengirimmu pada kematianmu agar kau bisa bertemu dengan Ibumu itu!"

Aku melihat pria itu tengah mengeluarkan sebuah pisau dan mencoba untuk membunuhku. Tubuhku semakin bergetar. Aku terjatuh namun aku segera bangun dan berlari untuk menyelamatkan diri dari pria itu.

"Tolong! Tolong!" teriakku dengan suara bergetar dan nafas yang terengah-engah.

Pria itu terus mengejarku. Aku segera berlari menuju pintu. Aku tidak bisa membukanya. Aku lupa kalau kunci itu disimpan di dekat ruang TV. Aku merasa semakin panik. Sedangkan pria itu semakin mendekat dan ia siap menghunuskan pisau itu pada tubuhku. Bulu kudukku semakin merinding. Detak jantungku terus tak karuan dan terdengar semakin keras. Aku sendiri pun dapat mendengarnya. Dan juga nafasku makin terengah-engah. Pria itu semakin dekat. Kini dia sudah berada dengan jarak beberapa meter dariku.

"Aaaa!"

To be continued...

Ruang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang