"Taeyong, jika ini benar-benar kau, tolong buka matamu." Gumamku seraya mengelus kepala Taeyong dengan lembut.
Aku kemudian membawa tubuh Taeyong yang tak berdaya itu di pangkuanku. Aku terus membelai rambutnya seolah-olah dia baik-baik saja dan tengah tertidur dengan pulas. Aku menengok ke arah wajahnya. Penuh dengan luka. Aku melihat goresan yang lumayan dalam di pipi Taeyong.
Apa yang harus aku lakukan? Sedangkan aku sendiri tidak bisa keluar dari tempat ini? Aku telah berusaha untuk menghubungi teman-teman tapi tidak ada satupun dari mereka yang menjawab teleponku. Parahnya, Namjoon mematikan teleponku. Aku benar-benar geram. Bagaimana tidak? Disaat aku benar-benar membutuhkan pertolongan mereka, tidak ada satupun yang mau mengangkat teleponku. Terlebih lagi Namjoon. Ia malah mematikannya!
Aku kembali merebahkan tubuh Taeyong diatas lantai itu. Aku melepaskan jaketku kemudian memberikannya pada Taeyong agar ia gunakan sebagai bantal mengingat lantai itu cukup keras dan tidak nyaman untuk berbaring.
Aku melangkah menuju pintu dan dengan sekuat tenaga membuka pintu itu. Tidak bisa. Aku mengerahkan ototku lebih keras lagi. Namun, sama saja. Aku berpikir untuk melarikan diri dari situ melalui jendela. Namun, jendela itu terletak agak tinggi dan aku tidak tahu bagaimana cara agar aku bisa menggapai jendela itu ditambah aku juga harus membawa Taeyong pergi dari sini. Tidak mungkin jika aku akan meninggalkan Taeyong di tempat ini.
Aku terus melangkah mengitari ruangan gelap nan pengap itu untuk mencari benda apapun yang mungkin bisa aku gunakan untuk bisa meraih jendela itu dan keluar dari sini. Aha! Ada tumpukan meja dan kursi yang bisa aku gunakan untuk naik ke atas sana. Aku kemudian mengangkat meja dan kursi itu satu-satu dan meletakkannya tepat dibawah jendela itu. Aku kemudian mencoba untuk menaikinya untuk menguji apakah sudah cukup untuk bisa naik atau tidak.
Berhasil! 1 meja cukup untuk bisa keluar dari tempat ini melalui jendela. Aku kemudian turun untuk menghampiri Taeyong yang masih tergeletak tak berdaya di lantai. Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk membopong tubuh itu dan naik keatas meja untuk pergi dari situ. Ah, aku bingung! Bagaimana caraku untuk bisa membawa Taeyong keatas agar ia tidak jatuh? Aku tidak cukup kuat membawanya. Menyeretnya saja sudah cukup membuat nafasku ngos-ngosan. Bagaimana jika aku harus menggendongnya? Tapi, aku harus! Aku harus kuat untuk bisa menyelamatkan Taeyong atau akan terjadi hal tak menyenangkan nantinya. Pokoknya, apapun yang terjadi aku dan Taeyong harus bisa segera pergi dari sini!
Aku teringat akan jaketku. Aku kemudian menalikannya pada kedua pergelangan Taeyong, berharap itu dapat sedikit membantuku agar tidak mengalami kesulitan saat naik ke jendela dan juga agar Taeyong tidak jatuh. Selesai. Sekarang adalah saatnya untuk naik keatas sana. Aku harus kuat.
Aku kemudian naik keatas meja itu sembari menggendong Taeyong yang masih belum sadarkan diri. Ini berat sekali. Rasanya seperti membawa benda yang sangat amat berat. Sekujur tubuhku auto sakit semua. Nafasku terus terengah-engah. Tapi, aku terus berusaha untuk menggapai jendela itu. Aku membuka tirainya kemudian membuka kunci jendela itu dan membuka jendelanya. Aku meletakkan kedua tanganku disana dan berusaha untuk naik.
Ah, Taeyong hampir jatuh! Tanganku licin! Meja itu sedikit bergoyang yang membuatku hampir jatuh. Tali jaket yang ku ikat di pergelangan Taeyong hampir lepas. Ia akan jatuh.
"Taeyong! Kau tidak boleh jatuh! Aku akan kembali mengikat tanganmu dengan lebih kuat lagi. Maafkan aku karena aku terpaksa harus menyakitimu. Ini demi kebaikan agar kita bisa keluar dari sini." gumamku seraya mengikatkan jaketku lebih erat lagi pada kedua pergelangan Taeyong.
Aku menangis. Aku merasa bahwa aku telah dengan sengaja menyiksanya dengan mengikatkan jaket ini dengan erat pada pergelangan tangannya. Melihat luka yang cukup banyak di area itu membuatku tidak tega jika harus mengikatkan ini dengan erat. Tapi, jika tidak begini aku tidak akan bisa menyelamatkan Taeyong dan pergi dari ruangan ini.
"Bersabarlah, Taeyong. Penderitaanmu akan segera berakhir. Aku akan segera membawamu keluar dari sini dan membawamu ke Rumah Sakit segera."
Aku kembali berusaha meraih jendela itu. Meja itu terus bergoyang dan hampir roboh. Aku telah mencapai bagian tembok dari jendela itu. Dan brakk meja itu terjatuh. Kini tinggal aku dan Taeyong yang tengah melayang-layang diatas, berusaha merangkak untuk keluar. Aku terus berusaha untuk naik dan naik. Kini separuh tubuhku telah berhasil naik diatas jendela itu.
Ku lihat ada sebuah tiang beton didekat sana. Aku kemudian meraihnya dan mendorong tubuhku hingga akhirnya seluruh bagian tubuhku bisa keluar dari situ. Aku kemudian berdiri, turun melalui tiang itu dan kemudian kabur dari situ.
Aku telah berada di luar rumah Taeyong. Langit berwarna kelabu pertanda hujan akan turun. Aku lalu bergegas lari menjauh dari rumah itu sebelum ada salah satu dari makhluk itu yang melihat. Aku terus berlari dan sesekali berhenti karena terlalu capek.
Aku menengok ke belakang. Ada sekumpulan makhluk tadi yang mengikutiku. Aku buru-buru berlari sekuat tenaga tidak peduli apakah aku akan kuat atau tidak. Bagiku, keselamatan Taeyong adalah yang utama. Aku tidak peduli apakah aku akan bertahan hidup atau tidak selepas ini. Yang penting Taeyong selamat. Itu saja.
Mereka terus mengejarku. Kekuatan lari mereka sungguh cepat. Kini mereka tengah berada di belakangku. Ikatan jaketku pada Taeyong hampir lepas lagi. Taeyong hampir saja jatuh. Sembari berlari aku terus mengikat jaket itu kembali dan bergumam kembali meminta maaf pada Taeyong yang akan merasakan siksaan itu dalam waktu yang aku sendiri tidak tahu sampai kapan. Tapi, aku berharap penderitaannya akan segera berakhir sesegera mungkin.
Ku rasakan ada tetesan cairan yang mengalir dari pergelangan Taeyong yang sedari tadi terus ku ikat paksa dengan kuat. Pakaianku mulai terwarnai oleh darah. Aku menangis sesunggukan. Seperti itukah aku telah menyiksa Taeyong? Hingga kedua pergelangan tangannya mengucurkan darah seperti ini? Oh Tuhan, bantulah aku agar aku bisa menyelamatkan hidup Taeyong. Berikan aku jalan agar aku bisa terbebas dari makhluk-makhluk jahat itu.
Aku tidak tega melihat tetesan darah itu. Oleh sebab itu aku terus menambah kecepatan lariku. Aku kembali menoleh ke belakang. Barisan mereka tinggal beberapa meter jaraknya dariku. Aku sungguh panik. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan agar bisa terhindar dari makhluk-makhluk itu. Aku ingin meminta bantuan namun aku hanya seorang diri disini. Tidak ada seorangpun yang bisa memberiku uluran tangan. Aku mesti berjuang seorang diri demi bisa menyelamatkan nyawa Taeyong.
Darah itu tak hentu-hentinya menetes membasahi pakaianku. Aku khawatir akan terjadi hal-hal yang tak menyenangkan. Pikiranku mulai kacau. Hingga akhirnya aku tidak sadar ada sebuah pohon besar berduri di hadapanku. Ahhhh! Aku menabrak pohon itu dengan begitu kerasnya hingga seluruh tubuhku terasa sakit dan perih yang amat sangat. Wajah dan tanganku kemudian mengeluarkan darah. Sakit sekali.
Tapi, aku tidak boleh berhenti berjuang. Aku harus terus lanjut apapun yang terjadi. Melihat Taeyong membuatku tidak tega jika harus menyerah sampai disini. Aku terus berlari lebih cepat dan lebih cepat . Nafasku terus memburuk. Aku bahkan merasa seperti orang yang terkena asma dan kesulitan untuk bernapas. Pandanganku mulai kabur. Ah tolong!
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kosong
Fiksi PenggemarSebuah cerita misteri penyebab dimutilasinya Ibunda Lee Ji Eun, ruang kosong dan berbagai kasus misteri sekaligus horror yang akan disajikan dalam satu buku.